Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

HELENA (Cerpen Inno Mori)


HELLENA
Foto dari Google
    Masih lekat kenangan pekat pada benak, tentang  kepergian kedua orangtuanya ke pangkuan Yang Maha Kuasa beberapa waktu lalu. Jalinan keakraban dan cinta penuh perhatian telah sirna. Petuah dari sang ayah sebelum tidur malam telah tamat dan percikan motivasi dari ibu agar menjadi pribadi tegar dan wanita tanggu dalam menghadapi hidup, kini telah tiada. Akankah kisah-kisah bersama akan terulang lagi? Tidak!!! Semuanya sudah selesai dan selesailah sudah dari kata dan nostalgia hidup mereka.
   “Kini aku hidup bersama adik semata wayang. Lia namanya, nama manja yang diberikan orang tua. Tuhan, terlalau cepat engkau memanggil mereka dari hadapan kami” Ia membatin sembari menatap makam kedua orangtuanya. Hampa...Mau pergi, entah kemana?
   Pada sunyi yang menggigit di bulan Desember, Helena duduk termangu di beranda rumah, meneguk secangkir kopi pahit. Matanya menerawang nun jauh menerobos cakrawala. Awan melintas rendah melewati sela-sela perumahan, juga desahan angin menerpa pepohonanan yang berjejer rapi di lereng bukit. Burung pipit bersiul lalu mengisap sari patik kembang indah di pekarangan  lalu pergi ke cakrawala.  Para petani berdatangan dari kebun dengan beberapa potong kayu yang dijunjung serta rembi  di punggung. Helena mengarahkan pandangan  kepada para petani yang berdatangan itu sambil mengharap kedua orang tuanya berada di antara mereka. Namun, pikiran itu hanya menjadi suatu ilusi belaka. Pikiran itu menjadi semacam nostalgia yang mengiris pedih di hati dan menggugurkan deraian air mata. Hellena teringat kembali peristiwa itu yang selalu membawa duka dan menyakitkan hatinya. Helena kembali ke kamar merangkai kata pada lembran-lembran putih sekedar melepas rindu buat orang tua yang telah berpulang.
   “Ibu, kala musim sudah tiba, kita adalah keluarga yang mengais makna dari tanah warisan leluhur. Kita mengaso pada nasib, juga harapan dari ayah yang terlanjur pergi tanpa pamit. Lalu ibu juga tinggalkan aku dan Lia seorang diri. Ibu, jika pada saatnya aku kembali, terimalah aku berkat doamu yang paling sakti. Tapi ijinkan aku berziarah pada kerasnya dunia ini. Kuharap untaian doa yang tak kunjung putus selalu datang darimu agar aku kuat melangkah serta tegar bekerja juga dari ayah si pejuang hidup hingga akhir. Biar aku pandang hidup ini sebagai berkat dan anugerah dari Yang Maha Kuasa”. Demikian sepucuk surat rindu yang ia tuliskan sebelum tidur.
   Waktu terus melaju. Hari terus berganti. Bulan dan tahunpun demikian hingga sega-galanya mulai berubah. Hellena bersama Lia harus menghadapi kehidupan baru. Kehidupan yang tidak mereka lakukan sebelumnya. Kini Hellena memutuskan untuk berhenti kuliah karena alasan finansial yang tak mencukupi. Ia sadar bahwa hidup sedang menguji ketangkasan dirinya. Sudah saatnya ia berjuang dari alam yang ada. Mengolah tanah warisan leluhur bukanlah suatu pekerjaaan yang mudah untuk dijalankan tapi berkat latihan dan kebiasaan semasa sekolah menengah, ia berusaha untuk bekerja walau berat rasanya. Berkebun adalah saudaranya guna mencukupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah adiknya yang kini duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Hellena menjual hasil tanamannya kepada warga setempat dan ke kota. Kebiasaan ini juga mengingatkan dia akan sejarah hidup nenek moyangnya, juga kehidupan dari kedua orang tuanya yang kemudian diwariskan kepadanya. Ketekunan dan keuletan dalam bekerja dapat memberikan hasil yang mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua juga biaya sekolah Lia, adiknya itu.
Saban hari seorang lelaki berjenggot berpakaian necis datang ke rumah Hellena layaknya seorang pegawai kantor.
   “Aku kagum dengan pekerjaanmu.” Kata lelaki berjenggot mengawali pertemuan pada sore itu. Entah darimana ia tahu tentang kehidupan Helena. Mereka bukan orang sedesa, juga bukan sekampung.
   “Engkau perempuan hebat yang mengolah tanah dari warisan leluhur setelah kepergian kedua orang tuamu kepangkuan Ilahi.” Kini ia sedikit memuji lalu menerangkan latar belakang kedua orang tua Helena yang telah dikenalnya. Rupanya ia mengenal tentang kehidupan Helena bersama keluarganya.
“Tentu engkau telah bersatu dengan pekerjaanmu dan terasa begitu berat untuk melepaskan pekerjaanmu.” Kata lelaki itu selanjutnya.
   “Hellena, mengolah tanah bagimu adalah berkah.” Puji lelaki itu selanjutnya. Namun motivasi kadang menjelma ranum apel yang membawa malapetaka.
 “Kami sering membeli sayur ketika belanja di pasar dan istirku memuji kualitas tanaman sayurmu itu. Tapi sebaiknya kau tinggalkan tanah warisan leluhrmu dan pergi ke negeri Jiran. Di sana engkau akan memperoleh banyak uang dengan pekerjaan yang mudah.” Tawaranya menggiurkan. Helena mengangguk walau serumpun pikiran terbersit dalam benaknya. Hatinya masih terasa berat meninggalkan segala sesuatu termasuk tanah dan beberapa bedeng sayur. Bagaimana dengan adiknya nanti juga rumah dan makam orang tuanya. Apakah Helena meninggalkan rumah dan kedua puasaran ayah bunda di depan rumah? Belum lagi pikiran tentang nasib malang yang menimpah Tenaga Kerja Indonesia. Helena sering membaca di surat kabar berita tentang kematian Tenaga Kerja Indonesia.  Karena itu, ia menjadi ciut. Helena takut.
   Ia merenung mengelilingi halaman rumah sembari menatap makam orang tuanya, rumah dan beberapa bedeng sayur. Di samping itu, pikirannya juga menerawang kepada lelaki yang menawarkan ia untuk bekerja di Malaysia sambil mengingat kembali perjumpaan dengan lelaki berjenggot itu sewaktu ia menjual sayur ke kota.
    “Aku harus pergi. Ini semua demi masa depanku dan biaya pendidikan Lia,” kata Helena dalam hatinya. Helena memutuskan untuk pergi ke negeri Jiran.
   “Lia kaka harus merantau demi biaya pendidikan Lia”, katanya sembari mengusap rambut Lia, “jaga diri baik-baik, ingat jangan suka keluar kos malam hari, belajar yang tekunya” jangan lupa berdoa juga berdoa untuk kaka semoga kaka bekerja dengan baik di sana, Lia mengangguk setiap nasehat dari kakanya.” Ia selamat jalan kaka, jangan lupa untuk pulang semoga kaka baik baik di Malaysia” Lia kembali menasihati kakanya. Saling menguatkan dan meneguhkan mewarnai perpisahan keduanya.
     Dengan berat hati, Helena meningggalkan rumah dan juga makam kedua orang tuanya serta tanah yang telah menghidupkan mereka, sedangkan Lia adiknya melanjutkan pendidikan menengah pada salah satu sekolah di kota. Rumah tanpa tuan, makam tak ada yang merawat juga beberapa bedeng sayur yang dibiarkan begitu saja kemudian di makan hewan liar milik warga.
Baca Juga Cerpen Ibu Pergi Dalam Gegas Yang Tak Sempat Kukemas
        ***
   Negeri Jiran adalah paradoks dari sekian perziaran panjang hidupnya. Semua pengalaman ia alami di negeri ini. Negeri yang bagi kebanyakan orang selalu menjanjikan kehidupan yang berarti. Ia mengalami suka dan duka, sedih dan gembira, sakit dan tawa. Semuanya berbaur menjadi satu. Di awal bulan, Hellena selalu menjalin komunikasi bersama Lia, sekadar menceritakan kabar sampai pada kerinduannya terhadap Lia. Kemudian, mereka saling menguatkan satu dengan yang lain. Mereka saling menanyakan keadaan dan pekerjaan juga tentang kehidupan masing-masing. Semunya baik-baik saja. Setidaknya, demikian kisah diakhir cerita.
   Setelah beberapa tahun, kabar tentang Hellena mulai menghilang. Hingga pada suatu hari di salah satu surat kabar termuat berita tentang seorang tenaga kerja Indonesia asal Maumere meninggal dunia. Ia adalah Hellena.
   Kini Helena pulang ke kampung dengan tubuh kaku pada sebuah peti mayat. Tanah warisan nenek moyang dan peninggalan ayah dan ibu menjadi saksi terakhir kematian Hellena. Di tanah yang menjanjikan itu, Hellena adalah cerita yang tak habis-habisnya dikenang. Miris danvtragis, setiap ucapan dan janji tak selamanya membuahkan hasil. Hellena adalah wanita tegar penantang nasib.

* Penulis Inno Mori, lahir di Detuleda 31 Maret 1996. Alumnus Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere. Sekarang belajar filsafat di STFK Ledalero, Maumere.



                   

Post a Comment

0 Comments