![]() |
| Keterangan Gambar: Senus Nega, SVD |
Dalam perjalanan sejarah hidup manusia, ada begitu banyak orang yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Misalnya, Tuhan itu Siapa, tinggal di mana, lahir dari mana dan sebagainya. Ada yang membuat refleksi ilmiah untuk membicarakan atau coba membahasakan Tuhan. Mereka memuat Tuhan Yang Tak Terbatas pada pemikiran-pemikiran terbatas manusiawi.
Tentu rasionalitas terbatas manusiawilah yang menginspirasi mereka untuk berani berbicara tentang Tuhan atau coba memahamiNya. Selain itu, ada kelompok tertentu yang berani mengklaim bahwa Tuhan itu milik mereka dan dapat bertemu denganNya. Sesungguhnya manusia, siapa pun dia, tidak memiliki kemampuan untuk memahami Tuhan secara sempurna atau berhubungan langsung denganNya. Manusia adalah makhluk terbatas. Ia tak bisa langsung bertemu Tuhan secara fisik. Lalu, bagaimana manusia dapat bertemu, mendekat atau menikmati manifestasi diri Tuhan?
Menjawabi pertanyaan penting ini, Emmanuel Levinas menyatakan bahwa perjuangan memahami dan mendekati Tuhan hanya bisa dilewati dengan perhatian kita untuk membangun relasi atau pertemuan dengan orang lain. Orang lain memang bukan penjelmaan Tuhan, tetapi makna Tuhan itu sudah bisa didapat dalam hubungan dengan yang lain. Dalam seluruh filsafatnya, Levinas berfokus pada pertemuan dengan yang lain dan bukan pada Tuhan. Ceramah-ceramahnya tentang Tuhan selalu dalam pelayanan proyek filosofisnya berbicara tentang manusia lain.
Pertemuan dengan yang lain bukan tugas yang gampang. Selalu ada tuntutan lebih untuk Subyek, karena yang lain itu pasti datang dengan keunikannya, segala persoalannya, yang barangkali sulit juga untuk diterima. Keunikan yang lain itu tidak bisa ditolak, sebab ia memang datang dengan demikian adanya. Subyek tidak pernah boleh mengharapkan apa-apa tentang yang lain yang datang. Ia harus datang secara murni dan apa adanya. Levinas menyarankan, kita harus membiarkan yang lain tetap menjadi yang lain dan dengan demikian selalu aneh dan meresahkan. “Saya” melakukan ini dengan menyadari bahwa yang lain menyela saya dan mengejutkan saya tanpa saya mengambil inisiatif, bahwa yang lain selalu sudah ada di sana, selalu mendahului saya. Bahkan, bagi Lévinas, "Aku" hanya menjadi diri dengan merespons yang lain (Christina M. Gschwandtner, 2013: 45).
Relasi etis dengan Yang Lain terungkap dalam sikap dan tindakan yang menghargai, rasa hormat, tidak dominatif dan membiarkannya hadir dalam segala keberlainannya. Tanggapan seperti ini diberikan bukan karena ia sangat lemah dan tidak akan berubah, melainkan terutama karena ia adalah manusia. Tanggapan positif akan kehadiran yang lain itu adalah sebuah jalan menuju pengenalan diri yang baik. Aku menjadi berarti selalu dalam hubungan dengan orang lain.
Bagi Levinas, yang lain datang kepada saya, sebagai "wajah". Saya tidak "melihat" wajah itu, tetapi mendengarnya. Lévinas tidak berbicara tentang wajah fisik di mana saya bisa menggambarkan warna mata atau bentuk mulut dan hidung. Wajah itu berbicara kepada saya (Ibid, hlm 47). Wajah merupakan sesuatu yang lebih abstrak namun sangat dalam, yakni keseluruhan cara orang lain memperlihatkan dirinya kepada kita. Orang lain menampakkan dirinya secara berbeda dengan, misalnya kursi, meja, pintu atau pohon.
Kita selalu memberikan sikap yang baik dan pantas atas kehadiran orang lain. Kita pasti akan berjuang untuk melakukan hal ‘yang berkenan’ kepadanya karena ia adalah manusia. Semua itu kita lakukan sebagai tanggapan atas kehadiran orang lain tersebut. Kita selalu tidak dapat mengabaikan kehadirannya. Bagi Levinas, etika lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain sebagai manusia yang memiliki wajah. Saya terusik oleh kehadiran orang lain karena ia memiliki wajah yang tidak dapat diabaikan (Thomas Hidya Tjaya, 2018:8).
Menurut Levinas, wajah itu juga rentan dan terbuka. Wajah itu telanjang dan mudah dihancurkan. Ia ada di hadapan kita apa adanya. Untuk mengungkapkan kerentanan yang lain ini, Lévinas semakin banyak menggunakan bahasa alkitabiah untuk memperhatikan tetangga (sesama), yakni “janda, yatim piatu, dan orang asing.” Ini adalah tiga kelompok yang mewakili elemen masyarakat yang paling lemah dan paling rentan, mereka yang tidak memiliki status nyata dan hampir sepenuhnya bergantung pada belas kasihan atau amal orang lain (Christina M. Gschwandtner, loc.cit.). Figur “janda, yatim piatu dan orang asing” di atas sesungguhnya membahasakan seluruh persoalan kemanusiaan dalam sejarah hidup manusia.
Mereka menjadi representasi akan jeritan derita kemanusiaan yang terus terjadi hingga hari ini. Mereka adalah “siapa” yang saat ini sedang terancam kehidupannya. Mereka adalah alasan yang membuat kita sadar dan harus beranjak dari ‘tidur panjang’, berikut berjuang demi kebaikan mereka. Epifani wajah dari figur-figur ini adalah suatu kejadian etis, yaitu kejadian yang membuka tabir kemanusiaan. Setiap realitas kemanusiaan, piatu, korban pemerkosaan, korban perang, korban bencana dan yang dieksploitasi atas cara apa pun; selalu mengandung suatu undangan etis. Mereka mewahyukan wajah universal para korban sebagai suatu undangan etis serentak meminta respon dalam bentuk responsabilite/tanggung jawab (Felix Baghi, 2012:38).
Kehadiran yang lain itu mengusik dan mendesak kita untuk memberi tanggapan. Oleh karena itu dibutuhkan keterbukaan diri dan bersedia untuk bertanggung jawab atas kehadiran mereka yang tentu membawa aneka persoalan yang harus kita tanggung. Kesediaan untuk menanggapi kehadiran yang lain yang unik dan rentan itu dalam bentuk sapaan, tawaran, dan respons positif adalah awal mulai lahirnya kesadaran dan tanggung jawab etis. Dengan menyela saya dan meminta untuk tidak dibunuh, yang lain berbicara langsung kepada saya dan membangunkan tanggung jawab saya. Saya menjadi diri sendiri hanya melalui alamat dan panggilan yang lain ini.
Saya menjadi unik atau menjadi diri sendiri, karena yang lain memilih saya dan meminta bantuan saya. Adalah tanggung jawab saya untuk orang lain yang membedakan saya dari orang banyak dan mengubah saya menjadi diri sendiri (Christina M. Gschwandtner, op.cit., hlm. 48).
Di sini, Levinas sangat menekankan etika tanggung jawab. Bahwa pertemuan dengan orang lain itu bukan sekadar untuk bertemu dan bertatap muka, tetapi selalu dituntut tanggung jawab yang lebih dari Subyek. Pertemuan menjadi bermakna hanya dalam tindakan ‘yang etis’, yaitu melakukan sesuatu yang berarti yang dapat mendatangkan transformasi bagi orang lain itu. Berkenaan dengan itu, kita selalu dipanggil untuk berjuang merawat kemanusiaan yang sangat berharga itu. Kita tidak boleh acuh tak acuh dengan segala realitas diskriminasi, eksploitasi dan hegemoni kekuasaan yang menindas martabat manusia. Kita justru harus mengembangkan sayap cita rasa kemanusiaan kita di tengah cengkraman litani kekerasan yang amat kejam. Kita perlu membangun solidaritas nyata dengan mematahkan tembok penghalang dan turun ke jalan, ke tengah kehidupan riil orang-orang yang paling rentan. Semua itu menjadi medan kita untuk berjuang. Kita senantiasa dipanggil untuk merawat dan mengubah segala derita dan penindasan itu menjadi sukacita kemanusiaan yang perlu terus dirayakan secara bersama-sama.
Jadi, etika yang ingin dibangun oleh Levinas adalah etika orang-orang asing, yakni etika yang membuat kita bersedia dipertanyakan, diganggu, diusik oleh orang-orang yang tidak kita kenal dan bahkan bersedia untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Manusia tidak dapat menghindar dari tanggung jawab terhadap orang lain karena tanggung jawab itu merupakan bagian integral dari hidup manusia.
Baca Juga Cerpen Kisah Kematian Ayah
Tanggung jawab etis selalu merupakan adanya respons (keterbukaan) dari subjek dan pada gilirannya subjek bersedia melayani yang lain dan tentu juga mengharapkan adanya keterbukaan dari yang lain yang akan dibantu itu. Akhirnya, tanggung jawab etis bukan dimengerti sebagai tindakan untuk kebaikan atau kepentingan subjek, melainkan proyek kemanusiaan yang berasal dari subjek menuju ke yang lain.
Dalam etika tanggung jawab itu subjeklah yang pertama-tama memberi tanggapan atas situasi yang terjadi di luar dirinya dan menahbiskan dirinya untuk siap menjadi pelayan bagi sesama. Realitas memprovokasi (baca: mengundang) subjek untuk menjalankan panggilan kemanusiaan; melakukan sesuatu yang dapat memulihkan situasi genting yang sedang terjadi.
Dalam hal ini Levinas menyatakan dengan gamblang bahwa tanggung jawab selalu terjadi setelah adanya kejadian atau realitas yang berbicara atau sungguh-sungguh terjadi di dalam ruang publik. Kesediaan subjek untuk bergerak dan memberi diri mengandaikan sebelumnya sudah ada kejadian yang terlebih dahulu mengundangnya. Kejadian itu adalah ‘yang lain’ yang datang dengan segala keunikannya.
Pertanyaannya ialah bagaimana panggilan dan tanggung jawab itu bisa dibuat? Levinas menekankan pentingnya sensiblitas manusia (kemampuan merasa dan bukan rasionalitas). Relasi etis, dalam pandangan Levinas tidaklah menuntut adanya pengantaraan akal budi, karena hal itu memang tidak terjadi pada tingkat kesadaran, melainkan pada tingkat sensibilitas. Sensibilitas itu sendiri merupakan basis subyektivitas manusia. Lebih jauh, Levinas menyatakan bahwa sensibilitas merupakan dasar dan syarat keterlibatan seseorang sebagai manusia etis.
Yang mampu menjalin relasi etis hanyalah manusia yang dapat merasa, termasuk merasa haus dan lapar, dan bukan hanya berpikir (Thomas Hidya Tjaya, op.cit., hlm. 111).
Berkaitan dengan ini, dalam buku Redeskripsi dan Ironi, Pater Felix Baghi menegaskan bahwa kita hanya bisa mengerti kesanggupan manusia, kalau kita membuka diri terhadap dimensi cita rasa. Ihwal kemanusiaan bukan ihwal akal budi dan rasionalitas. Ihwal itu lebih berkenaan dengan cita rasa, simpati, empati, dan solidaritas terhadap sesama dan lingkungan (Felix Baghi, 2014:86). Tanggung jawab terhadap yang lain hanya bisa dilakukan kalau ada sensibilitas atau rasa empati untuk terbuka dan memberikan diri padanya.
Oleh karena itu, sensibilitaslah yang memampukan manusia untuk teguh berjuang merawat kemanusiaan yang tersobek oleh kepongahan manusia itu sendiri. Sensibilitas memberi akses terhadap kemanusiaan yang dimiliki orang lain, betapapun jauhnya perbedaan sosial yang ada antara mereka dan kia. Sensibilitas selalu membuat kita membuka diri dan membiarkan diri disapa dan disentuh.
Alih-alih berjuang demi merawat kemanusiaan, kita sebenarnya sudah merintis jalan menuju Tuhan untuk mendekatiNya. Levinas menyatakan bahwa kita tidak dapat memiliki akses langsung kepada Tuhan. Lévinas biasanya bahkan tidak menggunakan istilah "Tuhan" tetapi lebih sering berbicara tentang "tidak terbatas" atau "ilegal". Yang Tak Terbatas itu begitu luas dan melimpah sehingga tidak dapat ditampung oleh pengada yang terbatas. Jadi, keterbatasan manusia tidak dapat begitu saja bertemu Tuhan secara langsung.
Bagi Levinas, ada akses lain yang wajar untuk manusia dan bersifat manusiawi, yakni melalui hubungan dengan yang lain. Perhatian utama Lévinas adalah pertemuan kita dengan sesama manusia dan itu adalah jalan untuk mendekati Tuhan. Saya dapat menyatakan ketidak-terhinggaan Yang Ilahi dalam kepedulian saya terhadap tetangga, dalam pengorbanan diri saya sepenuhnya. Oleh karena itu, Yang Lain tidak hanya dialami sebagai sekadar manusia lain, melainkan juga sebagai medium di mana Yang Tak Terbatas dapat ditemukan. Dimensi Yang Ilahi tersingkap dari wajah manusia (Thomas Hidya Tjaya, op.cit., hlm. 150).
Dan wajah itu hadir dalam figur-figur rentan, lemah, terpinggirkan dan yang sering menjadi korban diskriminasi otoritas ekonomi dan politik. Karena kita tidak bertemu Tuhan dari ‘muka ke muka’, maka kita pun tidak dapat memanggil namaNya begitu saja. Kita memanggil Tuhan hanya dapat mengambil makna mulai dari hubungan dengan orang lain. Baru mulai dari hubungan-hubungan inilah Tuhan dapat 'memanifestasikan' dirinya sendiri” (Christina M. Gschwandtner, op.cit., hlm. 56). Hubungan dengan yang lain ialah basis dan medium untuk menuju kepada Tuhan. Artinya bahwa ‘saat mendekati’ Tuhan itu dapat terjadi melalui pertemuan dengan yang lain. Sebab, sesungguhnya, wajah orang lain adalah sebagai jejak Yang Tak Terbatas. Pada saat itu Tuhan dapat memanifestasikan diriNya sendiri.
"Tuhan" hanya masuk akal dan hanya diberi makna dalam hubungan saya dengan yang lain, tanggapan saya terhadap yang lain dan keterbukaan terhadap tetangga. Saya tidak pernah bertemu Tuhan tetapi hanya dengan orang lain. Kapan pun saya mengira bahwa saya telah melihat sekilas kemuliaan Tuhan, sungguh saya hanya menemukan wajah konkret dari yang lain, yang biasanya bukan pemandangan yang menyenangkan atau disambut (Ibid.).
Levinas betul-betul memberi catatan bahwa manusia hanya bisa melakukan sesuatu yang wajar bagi dirinya (sanggup dijangkau secara manusiawi), termasuk untuk memahami dan mendekati Tuhan, yakni melalui wajah konkret orang lain. Terkadang wajah konkret itu menyenangkan, tetapi lebih sering memprihatinkan dan tentu mengusik. Namun, subyek tetap memilih untuk bertanggung jawab dan melayani yang lain itu. Pelayanan dan tanggung jawab itu adalah tindakan kasih. Kasih adalah jalan untuk sampai kepada pengalaman akan Tuhan.
Dengan demikian, manusia tidak perlu lagi memaksa diri untuk mencapai Tuhan melalui pemikiran-pemikiran luar biasa yang pada akhirnya gagal juga. Atau tidak perlu lagi mengklaim Tuhan sebagai yang dekat atau sering bertemu ‘muka dengan muka’ dalam hidup sehari-hari. Menurut Levinas, yang wajar dibuat oleh manusia sebagai bentuk upaya mendekati Tuhan adalah dengan menjalankan tindakan kasih kepada sesama, yaitu bersedia untuk diganggu, diusik, dan akhirnya memberi tanggung jawab terhadap yang lain. Perhatian utama setiap insan seharusnya membangun jembatan hubungan sosial untuk saling menyapa dan membantu.
Untuk proyek yang lebih lanjut, Wajah yang lain itu semacam guru kehidupan untuk harus terus menerus mempraktikkan tindakan kasih dalam hidup setiap hari. Atau bisa juga tanggung jawab saya terhadap orang lain, adalah semacam perintah dari Yang Tak Terbatas (Tuhan). Akhirnya, Tuhan itu sesungguhnya tidak jauh dari hidup kita, asal kita membuka diri untuk menerima yang lain, memberi tanggung jawab terhadap mereka untuk kehidupan yang lebih baik.
*Senus Nega, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang tinggal di unit St. Rafael Ledalero.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis sendiri.


0 Comments