Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

KISAH KEMATIAN AYAH

Kisah Kematian Ayah
Keterangan Gambar: Fersi Darson


         Hari ini, tanggal 30 Desember. Satu hari lagi, tahun ini akan berakhir. Semua orang akan menyambut tahun baru. Biasanya, di kampung kami ini, tahun baru menjadi kesempatan untuk membaharukan segala situasi dan hubungan dengan sesama. Terutama hubungan dan situasi perpecahan yang pernah terjadi sebelumnya. Tahun baru ini dijadikan kesempatan untuk memperbaiki semua yang telah retak. Seperti biasa, dalam momen tahun baru ini, semua orang kampung akan berjalan dari rumah ke rumah untuk saling memberikan ucapan selamat tahun baru kepada sesama.
          Hari ini aku datang ke pusara tempat kediaman ayahku. Aku hendak membersihkan sekeliling pusara yang tampak sederhana ini. Ini adalah kebiasaan kami di kampung. Setiap kali menyambut tahun baru, kami akan beramai-ramai membersihkan perkuburan sanak-saudara kami.
Setelah selesai membersihkan pusara itu, aku duduk manis di sampingnya. Tiba-tiba aku merindukan sosok ayah yang pergi sekitar 15 tahun lalu. Aku membayangkan wajahnya. Meskipun sudah sangat lama ia telah pergi, dan meskipun waktu itu aku masih sangat kecil, namun gambaran wajah dan kebaikannya masih sangat jelas dalam ingatanku. Semuanya akan kuabadikan dalam hidupku.
Setelah membayangkan wajah ayah, sesekali juga aku membayangkan wajah bapak Anselmus. Ia baru kembali ke kampung ini. 
           Tepat 15 belas tahun ia meninggalkan keluarganya di kampung. Baru tiga hari lalu ia menginjak  kembali kakinya di kampung ini setelah lama hidup di  penjara.
Tidak terasa air mata jatuh membasahi pipiku. "Semoga engkau tenang bersama para kudus di surga, Ayah”. Sesekali aku meraba bagian kepala pusara itu.
Perlahan-lahan mentari kembali ke peraduannya. Setelah aku menghabiskan beberapa jam di pusara ayah, aku bangkit berdiri dan menyusuri jalan pulang ke rumah.
                ***
           Dulu, seorang lelaki pekerja keras bernama, Bernadus. Ia dikaruniai dua orang anak. Kedua anak laki-laki. Yang sulung bernama Anselmus dan yang bungsu bernama Hermanus. Umur Anselmus dan Hermanus berselisih agak jauh.
Bernadus sangat menyayangi kelurga kecilnya. Setiap saat, ia selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada isteri dan kedua anaknya. Ia selalu bekerja keras untuk menghidupi dan membahagiakan keluarga kecilnya. Jerih payah dan semangatnya dalam bekerja, membuat dirinya mampu memenuhi semua kebutuhan dalam keluarganya. Mulai dari keperluan-keperluan kecil sampai kebutuhan untuk mendirikan sebuah rumah permanen di kampung itu. Selain itu, Bernadus dikenal sangat bijaksana dalam hal mengambil keputusan, baik dalam urusan pribadi maupun dalam urusan umum.
Keseharian, Bernadus, selalu menghabiskan waktunya di kebun. Selain mengerjakan pekerjaan kebun, ia juga mencari makanan ternak. Hasil jerih payahnya itulah yang membuat ia bisa mendirikan sebuah rumah yang terbilang elit untuk ukuran kampung kami.
            Ia selalu mengaharapkan anak-anaknya untuk menjadi orang yang bisa mengubah status keluarga dari sisi pendidikan. Ia selalu bermimpi agar kedua anaknya melanjutkan sekolah hingga bisa meraih gelar sarjana.Tetapi, harapan itu seperti mimpi di siang bolong. Anselmus, anak sulungnya itu, berhenti sekolah saat duduk di kelas dua SMP. Anselmus berhenti sekolah tanpa alasan yang jelas.
             Bernadus dan isterinya sangat kecewa. Harapan dan mimpi akan masa depan anak sulung mereka telah hancur. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah memberikan tanggung jawab kepada anaknya itu untuk bekerja keras seperti keseharian mereka. Apalagi usia  Anselmus sudah remaja. Usia yang dianggap bisa bekerja dan memegang tanggung jawab.
“Nana, engkau telah memilih untuk putus sekolah, itu artinya engkau siap menjemur di bawah terik matahari untuk berkerja seperti ayah” Bernadus berkata dengan penuh perasan kecewa kepada anak sulungnya itu.
               Anselmus hanya menundukkan kepalanya dan berdiam. Dalam diam itu pula, ia terpaksa siap untuk menjalani kesehariannya seperti keseharian sang ayah yang bekerja keras di bawah terik matahari. Sejak saat itu, Anselmus selalu menuruti perkataan sang ayah. Ia selalu membantu ayahnya untuk bekerja di kebun dan mencari makanan ternak. Dalam usianya yang masih remaja, Anselmus sudah bisa bekerja seperti orang dewasa.
Suatu hari, sang ayah, mempercayakan Anselmus untuk mengerjakan  sebidang tanah yang masih kosong untuk ditanami dengan berbagai tanaman berharga. Kebun itu letaknya tidak jauh dari rumah.    
            Dengan senang hati, Anselmus, menuruti perkataan ayahnya. Anselmus,pun menanam tanaman cengkih, coklat, kopi, dan beberapa jenis tanaman berharga lainnya. Dalam hati kecilnya, sang ayah memberikan tanah itu untuk menjadi tanggung jawabnya. Ia sangat yakin, bahwa suatu saat nanti tanah itu akan menjadi miliknya. Ia pun bermimpi, beberapa tahun kemudian, ia akan menuai hasil yang melimpah. Ketika ia telah beristeri, ia tidak akan kekurangan apapun.
Sang ayah, hanya mengharapkan si bungsu satu-satunya yang bisa meraih gelar sarjana dalam keluarga mereka. Hati kecilnya berharap, mudah-mudahan, Romanus, anak bungsunya itu yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar, tidak seperti anak sulungnya yang telah memutuskan sekolahnya tanpa alasan yang jelas.
             Namun, itu tetap hanyalah mimpi.Belasan tahun setelah anak sulungnya berhenti sekolah, anak bungsunya pun tidak melanjutkan sekolah ke Pergutuan Tinggi. Anak bungsunya itu telah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, lalu tidak mau melanjutkan pendidikan itu di bangku kuliah. Ia sama seperti kakaknya yang lebih memilih tinggal di kampung.Sang ayah dan ibunya berusaha dengan berbagai cara membujuknya agar tetap melanjutkan sekolahnya. Tapi, sang anak tetap tak mau. Kedua anak Bernadus,  memang sangat percaya dengan pepatah orang, bahwa: sukses itu memang tidak harus berdasi.
                  ***
               Musim dan tahun berganti, Bernadus sudah sangat tua. Anselmus, anak sulungnya sudah mempunyai tiga orang anak. Sedangkan anak bungsunya baru beberapa bulan lalu menikah. Setelah menyelesaikan tanggung jawabnya dalam mengurus belis kedua anaknya, masih ada satu tanggung jawab yang belum Bernadus tuntaskan.  Dan, kini saatnya ia ingin menyelesaikan tugas atau tanggung jawabnya sebagai sang ayah, mengingat usianya juga sudah sangat tua.Tanggung jawab yang belum tertuntaskan itu adalah pembagian warisan.
Suatu hari, Bernadus memanggil kedua anaknya. Ia ingin menyampaikan hal itu kepada mereka berdua.
                “Nana, sekarang ayah sudah tua. Artinya, sekarang sudah tiba saatnya untuk ayah wariskan semua milik ayah kepada kalian berdua.” Bernadus berkata kepada kedua anaknya. Anselmus dan Hermanus menganggukkan kepala dan ingin secepatnya melaksanakan acara pembagian warisan itu.
Saat itu juga acara pembagian tanah dilangsungkan. Tetua adat dalam suku kami dilibatkan untuk menjadi saksi dan penimbang dalam acara pembagian tanah tersebut. Bukan hanya tanah, beberapa ekor sapi dan kerbau pliharaan Bernadus dibagikan kepada kedua anaknya.
Dari kebun ke kebun mereka berjalan untuk mengukur dan membaginya. Beberapa tetua adat itu pun mengikuti tahap demi tahap acara pembagian tanah itu. Dari sekian banyaknya kebun atau tanah milik Bernadus, semuanya dibagi rata tanpa berat sebelah kepada Anselmus dan Romanus.
Sebagaimana kebiasaan dalam budaya kami, bahwa yang berhak diwariskan rumah adalah anak bungsu. Maka,rumah milik Bernadus diwariskan kepada Hermanus, anak bungsunya. Bukan karena diistimewakan, melainkan karena kebiasaan itu dari nenek moyang kami dahulu.
Baca Juga Perantauan HAM  Dan Diskriminasi
                Saat hendak membagi ladang di dekat rumah, tiba-tiba, Anselmus membantah dan menegaskan kepada ayah dan beberapa tetua itu, bahwa ladang di dekat rumah itu tidak usah dibagi. Tanah itu sudah diberikan oleh sang ayah sejak ia remaja. Tanah itu sudah menjadi miliknya. Semua tanaman di dalamnya adalah hasil keringatnya, maka itu harus menjadi miliknya.
Tetapi, sang ayah tetap mengatakan bahwastatus tanah itu adalah milik sang ayah sendiri. Tanah itu belum pernah diberikan kepada anaknya atau kepada siapa pun. Dan baru sekarang ini diadakan pembagian tanah warisan secara resmi. Tanah itu tetap dibagi kepada kedua anaknya, Anselmus dan Hermanus.
                Anselmus, merasa pembagian tanah itu sangat tidak adil dan tidak memperhitungkan keringatnya dulu. Ia sakit hati kepada sang ayah yang tidak memperhitungkan jerih payahnya yang telah menanam dan merawat tanaman-tanaman di ladang yang telah dipercayakan kepadanya itu.  Saat itu, Anselmus putus asa dan tidak ikut dalam pembagian tanah itu sampai selesai.
Sejak saat itu juga, Anselmus, merasa tidak senang dan sangat membenci ayah dan adiknya.Ia tidak pernah datang menemui sang ayah maupun adiknya. Saat sang ayahjatuh sakit, ia tetap tidak mau menjenguknya. Anselmus,benar-benar tidak ingin melihat sang ayah dan adiknya. Bahkan ia merasa dirinya bukan lagi bagian dari keluarga itu.
                Beberapa tahun kemudian, Bernadus, sang ayah itu, meninggal dunia. Anselmus, tetap pada pendiriannya.Setelah kepergian sang ayah, Anselmus, selalu berusaha dengan berbagai cara untuk mengambil tanahyang telah menjadi milik sang adiknya. Anselmus, mengancam dengan cara kekerasan agarsang adik menyerahkan tanah itu kepadanya.
“Heii, anjing! Sudah berkali-kali saya bilang, engkau jangan lagi menganggap tanah ini milikmu. Engaku tidak tahu bagaimana sejarah tanah ini”
“Maksudmu Bagaimana, Ka’e?  Bukankah tanah ini adalah hibah dari ayah yang diberikan kepadaku?”
“Anjing, kurang ajar! Engkau tidak ada bedanya dengan ayah dulu.”
“Sadarlah dari mimpimu! Mungkin selama ini engkau terlalu percaya dengan Mimpimu.”
“Dasar, Anjing. Kurang ajar!”
                Anselmus sama sekali tidak bisa menahan amarahnya. Kepalanya,dipenuhi dengan kuasa kegelapan. Amarahnya berkobar menyala. Tanpa berpikir panjang, ia ingin segera membunuh adiknya. Sebilah parang tiba-tiba keluar secepat kilat dari dalam sarungnya. Dengan seketika parang itu mendarat di atas kepala Hermanus. Ujung parang itu pun menancap di ubun-ubun Hermanus, adiknya.  Darah penuhkeluar dari kepalanya. Sekujur tubuhnya penuh dengan lumuran darah.
Anselmus menghilangkan jejaknya.Dua tiga kali, Hermanus berteriak meminta pertolongan. Tiga orang warga sekitardatang menolongnya. Hermanus, secepatnya dilarikan ke rumah sakit terdekat, tapi ia tidak berhasil diselamatkan.
Saat itu, umurku genap lima tahun. Sejak saat itu, aku sudah berstatus anak yatim. Sedangkan ibu, saat itu berstatus janda muda, tepat di usianya yang ke 28 tahun.
                 ***
            Sore ini, aku bersama ibu datang berdoa di pusara sederhana ayahku. Setiap hari tahun baru seperti sekarang ini, kami selalu datang berdoa untuk memohon keselamatan jiwa ayahku yang mati menggenaskan di tangan kakak kandungnya sendiri. Aku dan ibu tampak tenang menyalakan lilin lalu mulai mendaraskan doa.
Berdoa untuk memaafkan musuh adalah bukti ketiadaan denam dalam hati. Lima belas tahun  bapak Anselmus dalam penjara. Bagiku, itu adalah sebuah balasan baginya. Setidaknya, itu mampu menyadarkan diri akan kesalahannya.

Nana: Panggilan untuk anak laki-laki.
Ka’e: Kakak:

* Fersi Darson, Mahasiswa PBSI Unika St. Paulus Ruteng. Berasal dari Manggarai.

Post a Comment

0 Comments