Maria yang sepuh tercenung di pondok ladangnya. Mata tuanya
memandang hamparan padi yang ia tanam sebulan lalu. Padi-padi itu mengering
lantaran hujan belum tiba pada musimnya. Kerap ia duduk berlama-lama menanti
hujan. Merapalkan doa-doa dari hati yang sedih dan melantunkan
nyanyian-nyanyian kerinduan dari mulut yang letih memohon. Ami
tegi tapi toe manga teing, apa sot tegi dami. Neho nia keta mesen sala dami
sampe toe teing usang latang ami? (Kami meminta, tapi tak jua
diberi. Begitu besarkah salah kami sampai-sampai tak kau turunkan hujan?) Doa-doa dari mulutnya selalu disirami
air mata, tapi tak jua kunjung tumbuh.
![]() |
| Foto dari Google |
Lain hari, dengan langkah berat, ia berjalan dalam pematangan
sawah. Padi-padi itu seperti seorang kekasih yang telah lama terbaring sakit.
Menunggu hidup dari setetes air. Tapi tak kunjung datang. Dan Maria yang
ringkih bagai pemohon yang gagal. Padi-padi kian mengering di bawah matahari
dan di bawah bola matanya.
“Bertahanlah. Dua tiga hari lagi hujan akan turun dan kamu
tetap bertumbuh, berbulir, dan memberi kehidupan.” Ia membisik serupa
sepasang kekasih yang saling menguatkan. Padi-padi itu berdiri mengering
dihantam angin.
Di langit, tiada harapan berjatuhan sebagai hujan. Tapi
doa-doa dan nyanyian dari mulutnya membumbung naik tak sudah-sudah.
“Ami tegi tapi toe manga teing, apa sot tegi dami. Neho
nia keta mesen sala dami sampe toe teing usang latang ami?”
Sesudah itu, dengan langkah gontai, ia seret kakinya kembali
ke pondok dan tercenung di sana. Berkali-kali, berulang-ulang. Entah sampai
kapan. Tuhan seakan tidur. Sampai-sampai ia tak mendengar doa-doa Maria.
Hampir dua bulan. Maria masih menanti hujan. Sesekali ia
mengatup mata dan membayang hujan sekonyong-konyong datang memenuhi pematangan
sawahnya. Dan ia duduk sumringah memandangi padi-padinya bergembira bermandikan
hujan. Ia membayang hujan itu membasahi
lahan-lahan kering, memenuhi sungai-sungai yang tak lagi berair,
menentramkan jiwa dengan kesejukannya, dan mengeluarkan bau tanah yang sangat
dirindukan. Namun, begitu ia buka mata, yang ia
temukan hanyalah padi-padi mengering dihajar sinar matahari.
“Tuhan belum mengabulkan doa-doaku.” Begitu ia menguatkan
diri. Setelah itu, ia berjalan terbungkuk-bungkuk ke pematangan dan
berbisik-bisik bagai sepasang kekasih yang saling menguatkan, “Bertahanlah. Dua
tiga hari lagi hujan akan turun dan kamu tetap bertumbuh, berbulir dan memberi
kehidupan.”
Bisa kau bayangkan seorang anak manusia berubah setelah
sekian lama menunggu dan merasa doa-doanya tidak dikabulkan? Tengoklah
Maria.
Malam itu, di rumahnya, untuk pertama kali ia menyalahkan
Tuhan. Ia menuduh Tuhan tidak mendengarkan doa-doanya, menyalahkan Tuhan telah
mengambil nyawa suaminya.
“Kalau saja Kau turunkan hujan, maka aku tak sesusah ini.
Suamiku telah Kau ambil dan kini Kau biarkan aku meratap dalam kesusahan
seorang diri. Memohon-mohon pun tak sudi Kau dengarkan.” Ia
berteriak-teriak seorang diri tengah malam. Hatinya kering seperti
padi-padinya. Ia tak sanggup lagi berkata-kata. Dan tiba-tiba ia menangis.
Begitu sedih.
Di luar malam jatuh makin gelap, segelap hatinya saat itu.
Tuhan sungguh menutup telinga. Ataukah ia belum mengabulkan doa-doaku?
Baca Juga Antologi Puisi riko Raden enu
Baca Juga Antologi Puisi riko Raden enu
***
Setelah malam itu, Maria menghabiskan hari-harinya di
ladang menemani sawah yang
gersang dan padi-padi yang kering. Ia tidak pernah pulang ke rumah.
Hari-harinya adalah penantian untuk hujan. Ia berharap hujan
tiba-tiba datang seperti kesedihan yang ia alami malam itu. Tapi tak pernah
sama sekali. Hujan seperti manusia yang tak kenal sedih, tak kenal air mata.
Dan ia lelah meratap, memohon-mohon.
Entah apa yang merasukinya, sore hari, setelah dua
minggu lamanya di ladang, Maria menyeret kakinya pulang ke rumahnya di kampung.
Tubuhnya kian ringkih, kian sepuh. Rambutnya kering tak terurus. Pakaiannya
kumal, kotor.
Tingkah Maria mulai aneh. Mondar-mandir tak tentu di halaman
rumahnya, menenteng sampah-sampah plastik di jalanan, komat-kamit disusul
senyum-senyum dan gelak tawa. Lebih parah, ketika melihat pepohonan
mengering, ia meratap tak sudah-sudah sambil berteriak-teriak
tapi kata-katanya tak jelas. Orang-orang kampung
bingung. Anak-anak takut dan berhamburan. Beberapa di antaranya memilih
mengganggu dan melemparinya dengan botol plastik. Maria akan
menunjuk-nunjuk dengan tangan, mengumpat-umpat, dan anak-anak berhamburan
saling tabrak. Mereka tergelak-gelak sambil berlari ke mana saja untuk
menghindar kalau-kalau Maria membalas lemparan dengan batu atau apa saja.
Maria bertingkah makin aneh dari hari ke hari. Suatu sore, ia
memegang sebilah parang karat yang ia dapat dari gundukan sampah di tepi kali
kering.
Beberapa orang kampung yang hendak membuang sampah di tepi
kali itu berhamburan ketika Maria datang dari arah berlawanan sambil
mengacungkan parang ke udara.
Maria mengancam-ancam dengan kata-kata tak jelas. Bila
ditafsir bisa jadi begini, ”Jangan buang sampah sembarangan. Pergi.
Manusia-manusia keparat. Perusak lingkungan. Gara-gara ulahmu, hujan tak
pernah kunjung datang. Pergi!!!”
Orang-orang kampung resah. Anak-anak lebih takut. Bapak-bapak
geram. Pertemuan singkat digelar sore itu. Darmanto, Tua Golo1 beruban,
memimpin pertemuan itu.
Orang-orang kampung tumpah ruah memenuhi rumah adat.
Anak-anak tak ingin menjauhi orang tuanya. Ibu-ibu duduk di halaman, di
atas bebatuan dan tak habis-habis menggerutu tingkah Maria. Di dalam
sana, bapak-bapak geram dan begitu serius. Pertemuan itu
memutuskan, Maria harus ditangkap dan dipasung. Orang-orang kampung
yang pernah dikejar Maria karena
membuang sampah bergegas usai Tua
Golo Darmanto menutup pertemuan itu. Di ufuk barat, matahari
belum sepenuhnya rubuh. Hari itu,
November hampir usai. Di dalam rumahnya, Maria menyumpah-nyumpah tabiat
orang-orang kampung yang merusak lingkungan. Sementara di luar, orang-orang kampung bergerak pelan-pelan. Tua
Golo Darmanto berada di depan, memimpin kelompok itu. Mereka
merangsek dan mengepung rumah Maria. Setelah memperbaiki songke di
kepalanya, Tua Golo Darmanto menunjuk beberapa orang untuk
mendobrak pintu dan menangkap Maria.
Majulah dua bapak berbadan kekar. Pintu ditendang dengan
keras dan orang-orang kampung menyerbu masuk. Maria kaget tetapi tak
mampu menampik banyak tangan yang mengerubunginya. Ia berteriak-teriak,
tapi orang kampung lebih kuat. Orang-orang kampung memegang kaki dan tangannya
seperti memegang seekor babi yang hendak dibantai.
Peralatan pasung yang telah mereka siapkan diatur
dan kaki Maria dipasung hari itu juga. Maria berteriak-teriak
menyumpah-nyumpah, tapi sia-sia. Suaranya melemah dan air matanya
jatuh. Saat itu, ia ingat air mata yang sama yang pernah jatuh pada malam
ia menyalahkan Tuhan. Orang-orang kampung meninggalkannya satu demi satu.
Anak-anak berlarian tanpa lagi takut. Maria tak lagi berteriak-teriak. Ia
menunduk seperti menyembah pasung itu. Air matanya telah kering. Suaranya
lebih parau. “Tuhan menutup telinga untuk doa-doaku.” Ia menangis, tapi
mata itu kehabisan air.
Di luar malam jatuh, begitu gelap disusul rintik-rintik
hujan, semakin menggemuruh, membesar, menderu-deru mengahajar atap-atap rumah.
Dan Maria masih tunduk menyembah pasung. Dalam hati Maria berbisik, Tuhan tidak adil. Saat diriku dikepung oleh
warga kampung lalu dipasung, Tuhan baru menurunkan hujan.
*Tua Golo artinya kepala suku dalam budaya Manggarai .


0 Comments