![]() |
| Foto dari Google |
Betapa menjenuhkannnya bertahan pada cinta yang telah
berhenti bertumbuh. Betapa melelahkannya terus mencari cara membuatmu kembali
luluh. Jika kita bisa semanis dulu, setidaknya hilangkan pahitnya kehilanganmu.
Jika kita tidak bisa kembali saling melengkapi, setidaknya beri tahu aku
caranya mengakhiri bukan pergi tanpa meninggalkan pesan.
Semalam aku tidak bisa tidur karena selalu memikirkan
tentangmu yang telah pergi. Aku pikir engkau pasti kembali dalam pelukanku,
nyatanya engkau terus pergi dan tak pernah kembali lagi. Di bawah kolong langit
malam ini aku sepi sendiri, merindukan sosokmu yang selalu membuatku
bahagia. Aku tahu kita tidak pernah
bersatu tentang rasa pun tentang hati. Aku sangat paham itu. Tapi setidaknya
engkau mengerti dengan isi hatiku. Bahwa aku tidak pernah bohong untuk mengatakan kalau aku sangat
mencintaimu. Engkau pergi tanpa meninggal pesan pun kesan untuk kuingat akhir
dari perpisahan ini. Aku sendiri tidak pernah ingin untuk berpisah darimu.
Karena aku yakin engkau malaikat tanpa sayap yang menerangi segala
lorong-lorong gelap hidupku. Di dalam kamar sepi ini, aku menyendiri sembari
mengingat paras wajahmu yang anggun.
Seandaninya
engkau tidak pergi pasti aku selalu bahagia. Senyum manismu membuatku enggan
untuk berpaling, ingin terus menatap senyummu. Aku tidak pernah menyangka
engkau seperti itu. Dulu saat kita masih bersama, aku pernah mengatakan
kepadamu, “Enu, jika dalam dirimu ada masalah entah masalah pribadimu dengan
keluarga atau dengan teman, bisa ceritakan. Mungkin aku bisa memberikan
solusinya.” Dan engkau pun dengan senang hati menjawab, “Baik nana, aku akan
mensheringkan kepadamu apabila aku ada masalah.” Dan engkau mengatakan itu
dengan polos. Aku pun percaya kalau dirimu pribadi yang terbuka dan selalu
menerima masukan dari orang lain tak terkecuali aku. Aku tidak tahu apakah
engkau pergi karena masalahmu begitu
besar sehingga tak perlu orang lain untuk membantu. Atau mungkin engkau bosan
dan jenuh dengan hubungan kita ini. Aku tahu engkau sudah mulai jenuh dengan
diriku. Waktu pertemuan terakhir di lorong itu, tingkah lakumu mulai agak lain
tidak seperti sebelumnya. Aku pun sempat bertanya tentang tingkah laku anehmu
itu. Tapi bibir manismu enggan untuk mengatakan itu. Aku pun malu dan diam
seribu bahasa. Aku mulai berpikir bagaimana mengembalikan semua ke posisi
semula, ke tempat yang seharusnya saat kita masih jatuh cinta berdua. Saat
dunia hanya berputar mengelilingi kita. Tapi tampaknya, aku sudah kalah telak.
Engkau begitu berubah. Barangkali engkau bosan dengan hubungan kita ini.
Baiklah aku rela engkau pergi kalau alsanmu jenuh dengan hubungan kita. Aku pun
tidak berhak menahanmu untuk tetap ada
bersamamu. Itu urusanmu.
Baca Juga Cerpen Perempuan Yang Menanti Hujan
Baca Juga Cerpen Perempuan Yang Menanti Hujan
Suatu
malam tanpa sengaja aku pergi berjalan-jalan ke rumah teman. Jaraknya tidak terjauh
dengan rumahku. Pergi hanya duduk-duduk cerita daripada jenuh di rumah terus.
Di samping rumah temanku ada taman kota. Di taman kota ini tak pernah sepi.
Setiap malam anak muda selalu ramai di situ. Ada yang duduk sendiri sambil
menikmati angin malam, ada juga duduk berdua dengan pacar. Yang paling banyak duduk berpasangan.
Entahlah aku tidak mau mengganggu dunia mereka. Toh setiap orang berhak untuk ada di tempat ini. Entah dia sendiri
atau dengan pasangannya itu urusan mereka. Orang yang mengganggu dunia mereka
ini mungkin orang gila. Tapi orang-orang yang lalu lalang melewati taman kota
ini pada umumnya mengerti dengan suasana mereka. Tak lama kemudian, aku pun
sampai di rumah temanku ini. Cahaya lampu di depan teras rumahnya sangat terang
sehingga semut yang berjalan di malam hari pun dapat dilihat. Aku pun mencoba
mengetuk pintu. Ketok pertama pintu tidak buka. Begitupun yang kedua kalinya.
Kakiku mencoba serong ke samping meloi dari kaca jendela barangkali mereka
masih di kamar tamu. Kemudian aku diam sejenak.
Aku berpikir lebih baik aku pulang daripada berdiri sendiri di depan
rumah ini. Nanti orang curiga aku pencuri. Lama aku bergulat dengan suara
hatiku. Aku coba melangkah ke depan pintu untuk mengetok ketiga kalinya. Kali
ini aku mengetok lebih keras lagi. Tapi tetap saja pintu tidak buka. Aku
berpikir lebih baik aku pulang saja. Begitu kakiku mau melangkah dari depan
pintu, tiba-tiba temanku langsung muncul dari dalam.
“Fano,
tunggu.” Ia memanggilku dengan langkah
lebih cepat. Dia takut mungkin aku pergi.
“Aduh
teman. Jawabku dengan senyum. Ke mana saja tadi.”
“Tidak
kok. Pengaruh kami ada di ruangan tengah tadi sambil menonton tv.”
“Ohh,
begitu. Aku pikir kamu sudah tidur.” Aku sambil melihat jam tangan.
“Belum
kok. Jam belum apa-apa ini. Lagian aku
kan biasanya sampai larut malam. Mari silahkan masuk ke dalam rumah.” Dia mempersilahkan aku untuk masuk di dalam
rumah.
“Dino.
Nama temanku ini. Nadaku pelan. Aku bukan menolak untuk masuk ke dalam rumah.
Bagaimana kalau kita duduk santai di taman kota itu. Atau bagaimana!”
“Iya
Fano. Aku juga berpikir begitu tadi. Apalagi jam begini taman kota masih ramai.
Tapi tunggu aku ambil jacket dulu. Tunggu sebentar.” Dia pun langsung mengambil
jacket tanpa lupa dia terlebih dahulu meminta ijin kepada kedua orang tuanya.
Mereka(orang tuanya) hanya tersenyum karena mereka tahu dunia remaja. Mereka
juga pernah merasakan tahap seperti ini.
Kurang
lebih dua meter jarak rumah Dino dengan taman kota ini. Tidak membutuhkan
banyak tenaga untuk sampai. Tak lama kemudian, kami pun tiba di taman kota ini.
Kami melihat begitu banyak pasangan ada di sini. Hampir tidak ada yang duduk
seorang diri. Semuanya pada pasangan masing-masing. Kami sepakat untuk duduk di pojok atas,
menjahui dari sinar lampu. Supaya orang tidak mengenal kami. Dua tiga langkah
kami mau sampai di pojok ini, tiba-tiba Dino bertanya tentang hubunganku dengan
Sinta. Mungkin Dino belum tahu kalau kami sudah lama berpisah. Maklum karena
selama ini aku menjaga rahasia ini supaya orang lain tidak mengolok kalau
sekarang aku sudah jomblo. Kepada Dino pun aku tidak pernah memberitahukannya.
Aku dengan sepenuh hati menyampaikan kepada Dino kalau aku dan Sinta sudah
berpisah. Dia hanya mengangguk kepala tapi ekspresi wajahnya sangat sedih.
Hampir dua jam kami duduk di taman kota ini. Aku melihat jam tangan pada pukul
dua belas malam. Artinya tidak ada lagi orang di taman kota ini. Mana mungkin
jam begini masih ada pasangan duduk di taman ini. Angin malam mulai terasa
dingin. Aku melihat Dino sudah mulai mengantuk. Tanpa berpikir panjang, aku
mengajak Dino untuk pulang ke rumah masing-masing. Kami bediri dan berjalan di
tengah taman kota ini. Sunyi dan sepi yang kami rasakan. Benar-benar tidak ada
lagi orang di taman kota ini. Kataku dalam hati. Tanpa sengaja aku menoleh di
samping kiriku. Di sana masih ada dua makhluk hidup duduk berpasangan. Di bawah
terang lampu itu, mereka duduk dengan mesrah. Begitu mereka melihat kami,
pura-pura duduk agak sedikit menjauh. Mereka tidak tahu kalau aku duluan melihat
mereka sangat mesra sekali. Tidak lama mereka juga ikut kami untuk pergi dari
taman kota ini. Aku dan Dino sengaja duduk sedikit di depan gerbang. Tiba-tiba
mereka muncul dari dalam. Betapa hatiku sakit . Ternyata yang duduk mesrah tadi
Sinta dengan pacarnya. Aku melihat Sinta sangat cuek seolah-olah tidak
mengenalku. Kami berpapasan di depan gerbang tapi dia tidak menegurku. Aku mau
memanggilnya tapi ada rasa takut pacarnya cemburu. Dino menatapku agak heran
dengan tingkah laku Sinta. Akhirnya Sinta pergi dengan pacarnya tanpa
menoleh kepadaku.
Sejak
kejadian itu, aku tidak pernah lagi memikirkan tentangnya. Aku sudah tahu
alasan perihal kepergiannnya. Selama ini aku pikir dia tidak ada siapa-siapa
dalam hubungan kami. Ternyata dugaanku salah. Mungkin duniamu bukan lagi aku.
Kebahagiaan yang kamu cari tidak lagi ada padaku. Bukan rinduku yang ingin kamu
temui. Sehingga kamu memutuskan untuk pergi, mencari tempat di mana kamu bisa
dapat lagi banyak kebahagiaan. Jika
tidak ada lagi alasan untuk menyatu, pergilah sejauh mungkin dari jangkauanku.
Biar aku benar-benar sendiri. Biar aku terbiasa dan tal berharap pada yang tak
ada wujudnya lagi.


1 Comments
Mantap Nana Udo. Ingat tuk berkomentar di blog unit jga e 😁
ReplyDelete