Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Bocah Kecil dan Pahitnya Kehidupan

Bocah Kecil dan Pahitnya Kehidupan
Ilustrasi dari Facebook

     Siang itu, mentari tepat di ubun-ubun kepala. Orang-orang berjejalan dari satu toko ke toko yang lain. Di jalanan, kendaraan tak kalah sibuk seperti orang-orang itu. Sedangkan di emperan-emperan tokoh berdiri kelompok-kelompok orang yang lagi asyik berbincang. Entalah, apa yang mereka bicarakan.
Baca Juga Cerpen: Aku Yang Terbuang

Tetapi yang pasti mereka begitu bergegas mencari sesuatu yang hilang atau pun mengejar sesuatu yang tertinggal. ya waktu, dia adalah penentu seluruh aktivitas manusia dalam sehari. Sesuatu yang begitu penting.

     Aku baru saja keluar dari pertokoan untuk membeli sebuah baju koas. Tanpa sengaja tatapanku langsung menuju kepada bocah kecil  yang lagi duduk santai di depan pertokoan. Entah dari jam berapa ia di situ. Di tangannya memegang koran. Setiap kali ada orang yang lewati di depannya, ia selalu mengulurkan koran. Entah apa yang dimaksudnya.

Aku terus memperhatikan tingkah lakunya dan itu selalu sama. Ia menyodorkan koran kepada orang yang melintas tepat di depannya tanpa henti.  Karena saking penasaran, aku pun pergi mendekatinya.

“Om! Demikian ia memanggilku. Mau beli koran? Tanyanya.

“Ia nak. Aku mau beli koran. Satu berapa nak? Jawabku. Saat itu aku baru tahu padahal ia bocah penjual koran.

“Lima ribu rupiah om!” Dengan cepat-cepat ia mengambil koran dan memberikan kepadaku. Raut wajahnya sangat senang ketika uang sudah di tangannya.

“Nak, aku boleh tanya. Bisa tidak?

“Bisa sekali om. Jawabnya dengan nada polos.

“Nama adik siapa? Dan sudah berapa lama bekerja sebagai penjual koran?

“Namaku Tino. Aku bekerja sebagai penjual korang. Aku geluti pekerjaan ini sejak aku masih kecil. Kira-kira masih berumur 12 tahun. Karena ayah dan ibu tidak bisa membiayaiku untuk sekolah maka jalan satu-satunya yang aku lakukan adalah menjual koran. Aku merasa bangga dengan pekerjaan ini. Aku tak pernah malu apabila menjual koran di tengan kota atau di depan pertokoan. Aku lakukan ini untuk kebutuhan hidup dalam keluarga. Aku  tidak perlu ada perasan gengsi atau malu. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia agar ia bisa hidup sesuai kemampuannya.

“Siapa sebenarnya bocah kecil ini? Kata-katanya sungguh indah. Ia dapat dari mana kata-kata seperti itu.” Kataku dalam hati sembari melihat orang-orang yang lalu-lalang di depan kami.

“Om! Mau masih mendengar ceritaku atau tidak.”

Barangkali ia tahu kalau aku kurang fokus mendengar ceritanya. “Nak, aku masih ingin terus mendengarkan ceritamu. Ayo, lanjutkan ceritamu tadi.” Saat itu juga aku lebih fokus kepadanya, kemudian ia terus melanjutkan ceritanya.

"Aku merasa bangga dengan kemampuan yang ada dalam diriku. Aku tidak mau membandingkan diriku dengan orang lain. Usia kedua orangtuaku yang sudah tidak mudah lagi membuat aku bekerja keras untuk bisa membahagiakan mereka. Aku lakukan ini bukan merupakan balas jasa atas kebaikan dari orangtuaku, tetapi lebih dari itu sebagai kewajiban seorang anak untuk merawat mereka agar mereka tetap sehat.” Kemudia Tino diam. Tiba-tiba mengangkat kepalanya.

“Kenapa diam nak. Lanjutkan ceritamu tadi? Tanyaku padanya.

“Om, aku sudah lapar. Katanya. Ia meraba kantong bajunya dan mengeluarkan gula-gula yang dibungkus dengan kertas. Itu merupakan yang terakhir. Maaf om, hanya satu ini dan om tidak dapat lagi gula-gula.”

“Tidak apa-apa nak.” Jawabku singkat.

“ om, Aku ingin pulang ke rumah. Orang tuaku mungkin masih menunggu untuk makan siang. Setiap kali makan, entah makan pagi, makan siang atau makan malam, kami selalu bersama-sama walau makanan ala kadarnya saja. Aku sendiri merasa bahagia apabila kami selalu makan bersama. Begitu om.” Sambungnya.

“Baiklah nak. Begini saja, bagaimana kalau siang ini, kita makan di warung saja. Kita sambil makan dan lanjutkan ceritamu tadi.  Atau bagaimana nak?” Aku coba merayunya.

“Baiklah om. Tapi uangku tidak cukup  untuk membeli makan.”

“Tenang saja nak. Aku yang bayar sebentar.”

    Rumah makan sangat tenang dan sepi. Suara yang terdengar hanyalah gemercik air di kamar mandi. Seorang pelayan masih gadis sibuk dengan mencuci piring kotor. Barangkali belum ada orang yang datang ke sini. Atau mungkin karena jam makan sudah lewat. Kataku dalam hati sambil menikmati makanan yang ada di depan kami. Aku melihat Tino sedang asik dengan makanan yang ada. Ia mungkin lapar sekali. Lihat saja cara makannya. Ia tidak mengajakku untuk mengobrol atau tanya apa saja tentang hidupnya. Aku maklum saja.

“Nak, mau tambah?” Ia langsung mengangkat kepala dan melihatku.

“Sudah cukup om. Aku sudah kenyang.” Jawabnya.

“Baiklah nak. Bagaimana kalau setelah makan kita melanjutkan ceritamu tadi. Apakah bisa?”

“Bisa om. Aku akan melanjutkan ceritaku tadi. Posisi duduknya sudah rapi dan piring makan di depannya, ia geser sedikit ke samping.  Begini om, Semenjak putus sekolah, aku hanya bergulat dengan pekerjaan sebagai penjual koran di tengah kota ini. Sejujurnya, aku tidak pernah mengeluh atau merasa marah dengan kedua orangtuaku kenapa mereka tidak menyekolahkan aku .

Aku sangat tahu betul keadaan keluarga kami. Aku tidak pernah memaksa kedua orangtua mencari uang untuk menyekolahkan aku. Aku tidak ingin membebani hidup mereka.  Apalagi usia kedua orangtuaku tidak mudah lagi. Ayah sekarang umur 90 tahun, sedangkan ibu umur 80 tahun. Aku sangat mencintai mereka dan ingin terus membahagiakan mereka walau melalui pekerjaanku ini. Itu sangat berarti bagi keluarga kami.

Aku rela tidak sekolah asalkan  kedua orangtuaku tidak menderita sakit. Aku tdak pernah malu atau merasa minder melihat teman sebaya setiap pagi pergi sekolah. Malahan aku merasa senang melihat teman-temanku antusias pergi sekolah. Terkadang aku  selalu menyapa dan memberi senyum ketika bertemu dengan teman-teman yang pergi sekolah.

Setiap pagi Aku selalu bangun lebih awal dari kedua orangtuanku. Aku selalu menyiapkan sarapan untuk mereka , sekedar bubur nasi yang tidak jelas rasanya. Kemudian aku sendiri pergi menjual koran. ketika mereka sudah bangun, aku telah berangkat ke perusahan koran untuk mengambil koran lalu kua menjual koran itu.

Terkadang aku mengambil koran sebanyak mungkin karena ada bonus dari perusahan apabila koran tersebut laku semuanya. Aku lakukan pekerjaan ini setiap hari. Aku merasa senang sekali karena menjumpai banyak orang dengan karakter yang berbeda. Ada yang senang hati untuk membeli koran dan ada yang sekadar hanya bertanya harga koran. Tetapi itu semua sangat berarti bagiku untuk tidak putus asa atau menyerah apabila berhadapan situasi seperti itu.

Begitulah perjalanan hidupku. Dan terima kasih om karena telah membantuku untuk makan siang di tempat ini. Jujur saja, aku baru pertama kali makan di tempat seperti ini. Aku sangat berterima kasih kepada om. Aku baru pertama kali mengenal orang di tengah kota ini seperti om. Sekali lagi terima kasih banyak om.” Lanjutnya.

    Aku sendiri merasa terharu dengan cerita perjalanan hidupnya. Walau hidupnya susah, Tino selalu terlihat riang dan ceria. Ia sangat bahagia dengan perjalanan hidup seperti ia jalankan sekarang. Tidak ada rasa beban atau rugi untuk dirinya. Sungguh Tino anak yang baik. Aku sendiri baru pertama kali melihat dan mengenal anak seusia Tino dengan polos menceritakan perjalanan hidupnya. Juga anak yang bekerja keras untuk membiayai keluarga kecilnya.

“Nak, nanti kalau ada waktu kita makan lagi di sini. Aku ingin  pulang ke rumah karena istri dan anakku masih menunggu untuk makan siang bersama. Terima kasih ya nak karena telah bersedia untuk menceritakan pengalaman hidupmu. Aku sangat terharu sekali saat engkau menceritakan perjalanan hidupmu. Apabila ada waktu mampirlah ke rumahku.” Aku langsung memberikan alamat rumah kepadanya. Aku melihatnya sedikit heran atau mungkin senang karena sudah mengajak dia makan lalu memberikan sedikit uang dan alamat rumah.

“Terima kasih om. Aku tidak berjanji untuk datang ke rumahnya om. Tetapi aku berusaha untuk datang. Terima kasih om dan hati-hati dalam perjalanan.” Jawabnya singkat.

Kemudian kami berdiri dan meninggalkan tempat ini.

*Unit Rafael, 18 Juli 2020. Cerpen ini pernah muat di Pos Kupang.

Post a Comment

0 Comments