Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Penantian Yang Sia-Sia


Penantian Yang Sia-Sia
Keterangan Gambar: Enu Oin sedang menikmati senja sambil merapal doa agar cintanya tetap abadi

    Setelah malam yang menyakitkan itu berlalu, aku menyadari satu hal bahwa kehilangan yang sudah cukup lama membuat aku mengerti bahwa penantian yang panjang tidak selalu membuahkan cinta yang semakin besar. Aku telah memahami perpisahan ini.

Mungkin kita telah tertulis harus berhenti. Entah sejenak, entah untuk selamanya. Tapi kalau memang kita diputuskan untuk bersama, kau akan temukan jalan untuk kembali. Sejauh apa pun dan kamu saat ini. Selama ini aku hanya memikirkan bagaimana membuatmu melangkah mundur kembali ke pelukanku.

Tanpa memikirkan bagaimana menghentikan perasaanku. Selama ini aku hanya tahu cara menunggu. Tanpa mencari tahu caranya bangkit dari gugurku. Kini semuanya telah selesai. Perasaanmu padaku pun telah lama usai.

Aku cukup mengerti maksudmu pulang, datang memberi salam manis padaku kemudian mengutarakan maksud dari kepulanganmu dari hilang yang cukup panjang.

"Aku pulang, tetapi bukan untuk kita tetapi untuk hati yang sudah aku tinggalkan di sana'" bisiknya pelan ditelingaku, ketika ak sudah hampir terlelap dalam hangat dekapnya.
Aku melepaskan pelukannya.

"Mengapa harus kembali jika bukan untukku?" Tanyaku sambil memukul dadanya, meronta-ronta sebisanya. "Inikah maksud dari janji yang sering kali kau katakan, ketika kita harus berdiri dan berbicara di atas garis jarak, kau bilang akan kembali dengan setumpuk rindu yang hampir berdebu karena sudah tersimpan lama?" Lanjutku.

Iya. Aku menyadarinya sekarang. Itulah maksud dari rindu yang berdebu itu, dan akan benar-benar kusam ketika kau kembali.
Baca Juga Cerpen: Bocah Kecil dan Pahitnya Kehidupan
Banyak amarah, air mata dan kekesalan yang sudah aku sampaikan padanya di malam itu. Yang menyakitkan ialah ia tidak sedikitpun menoleh padaku, mengusap air mata kecewa dan rasa sakitku. Ia membelakangiku, mendengarkan tangis dan amarahku yang memuncak dan memuakkan.

Jika malam itu aku punya kesempatan untuk membunuhnya, mungkin aku akan menikam jantungnya sehingga dengan begitu, hanya aku yang bisa tahu bagaimana ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan rintihan dan rasa sakit yang sama denganku.
       
"Mengapa masih di sini Ibu? Warung akan segera ditutup" teguran tukang bakso menghentikan lamunanku.

"Oh, maaf Pak". Jawabku dengan nada tergesa-gesa.

"Tidak apa-apa Ibu, dari tadi ibu hanya memutar-mutar sedotan minuman itu sambil menatap jauh ke lampu jalan di pojok kanan atas sana yang sudah lama sendiri dan cahayanya begitu-begitu saja, tidak pernah memuaskan hati pejalan kaki."

 Aku menatap Pak Adi si tukang bakso itu sembari melebarkan sedikit bibirku.

"Aku sama sepertinya Pak, tidak pernah berarti bagi siapapun. Hampa dan kosong".
Aku kemudian meninggalkan warung bakso itu setelah membayar semua pesananku. Berjalan tergontai di pinggir jalan, melewati jembatan Betun sambil menatap sendu pada lampu jalan yang tidak pernah membenci malam yang selalu mengabaikan mereka. Tidak peduli seberapa besar mereka memberikan cahayanya bagi siapapun yang lewat tanpa pernah mendapat tegur dan sapa dari penikmat jalan.

"Bagaimana perasaanmu, ketika malam yang semakin membenci keramaian datang memohon padamu untuk tetap tinggal sampai langit melahirkan mentari (lagi)?" Si lampu jalan hanya diam saja mendengar pertanyaan yang aku sampaikan.

Karena kesal tidak ada Jawaban, aku meneruskan perjalanan, berhenti sejenak di pinggir jalan, tepatnya berdiri di atas trotoar jembatan Betun. Menatap air sungai di bawah jembatan yang mengalir tenang tanpa pernah peduli bagaimana ikan dan semua penghuni di sana mengganggu ketenangannya.
"Mungkin aku cukup menjadi seperti air di sungai ini, tenang, diam dan mengalir dengan sepenuh hati. Mengisi setiap sisi dan tepi sungai yang kosong. Yah.. Tidak pernah melewatkan sedikit kesempatan untuk mengisi setiap kekosongan sekecil apapun dengan tulus dan sepenuh hati". Pikirku sambil tersenyum-senyum sendiri. Mungkin ikan dan kepiting yang sedari tadi menatapku dari dalam sungai ikut tertawa karena melihat keanehanku.

          ***
    Ketika saya duduk menikmati suasana malam yang tenang, angin malam yang menyejukkan hati di taman dekat rumah, HPku berdering. Aku meraba saku baju dan membuka hp. Ternyata ada pesan masuk darinya dan membuatku merasa terpukul dan tersiksa sekali lagi.

 "maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu tetapi apa boleh buat hatiku lebih memilih untuk pergi". Pesan singkat dari Marwan melemahkan seluruh tubuhku, rasanya seluruh darah dalam nadiku berhenti untuk mengalir, dadaku semakin sesak, rasanya seperti sudah dihantam pukulan besar mengenai dadaku.

"Mengapa harus seperti ini? Mengapa kau harus melukai perasaan dan hatiku dengan cara seperti ini? Aku belum bisa menerima kenyataan ini, aku mohon pulang untuk hati dan air mataku.” Aku menangis sejadinya, menyesali diriku sendiri yang sudah mencintainya terlalu dalam, terlalu mengharapkan kepulangan dari hilang yang cukup lama, mengutuk diriku sendiri karena menunggunya untuk waktu yang cukup lama.

Setelah lelah dengan tangis dan sedu yang cukup lama, aku memilih untuk kembali beristirahat. Malam ini aku harus menyelesaikan lelahku sepanjang hari. Esok aku harus memulai segala hal yang baru. AKu menyadari bahwa sekeras apapun aku menangis, mengutuk diriku sendiri, semuanya tidak akan kembali, hati dan cintanya sudah jadi milik orang lain. Aku hanya perlu memperbaiki dirilu sendiri, melupakan segala sesuatu tentangnya, dan mempersiapkan diri untuk menulis cerita yang baru pada lembaran yang lain.

           ***
    Hari ini adalah hari Minggu ketiga di bulan November. Aku sudah mempersiapkan diri untuk ke gereja. Aku ingin memberi ketenangan pada hati dan pikiranku melalui serangkaian lantunan doa kepada-Nya. Dan berharap semua rasa sakit dan kekacauan ini cepat berlalu.

Sepulang gereja, seperti biasa aku menikmati secangkir kopi dan roti tawar untuk sarapan sebelum memulai aktivitas hari minggu seperti yang dilakukan oleh tetangga kontrakanku atau orang lain pada umumnya. Aku benar-benar belajar melupakan semuanya, memulai segala sesuatu dengan baik tanpa pernah berpikir lagi tentang Marwan, menghapus semua chating, nomor telepon, dan mengirim semua barang yang pernah diberikannya kepadaku.

Aku benar-benar membersihkan semuanya, aku tidak ingin barang atau apapun yang menjadi miliknya masih ada padaku. Apabila aku masih menyimpan semua benda atau barang darinya, itu berarti aku masih mengenang tentang kenangan bersamanya. Aku ingin kami berpisah tanpa ada lagi kenangan di antara kami.

           ***
     Lima bulan setelah semuanya berlalu, aku masih sendiri. Kenangan tentang Marwan sudah benar-benar hilang dari ingatanku, pekerjaanku di kantor sampai hari ini berjalan dengan baik-baik saja. Aku benar-benar menikmati setiap hari dengan baik dan tanpa pasangan, tanpa rindu yang harus meluluhlantakkan segalanya ketika malam tiba, tanpa memperdulikan pesan singkat yang harus dibalas dengan cepat atau harus memberitahu dan meminta izin ketika hendak melakukan tugas atau traveling keluar bersama kerabat, teman kantor, teman laki-laki atau pun perempuan. Aku benar-benar bebas, bisa melakukan hal positif yang memberikan motivasi dan semangat untuk aku jalani setiap hari.

            ***
     Sebelum berangkat ke kantor, kebiasaan aku lakukan yaitu mengecek kotak pos di depan kontrakan. Tetanggaku juga melakukan hal yang sama. Biar hanya sekadar untuk mengecek surat rindu dari orang tua, atau pun juga dari orang-orang yang iseng-iseng mengirimkan surat yang menuliskan perasaan atau surat yang dikirim dengan alamat pos yang salah atau kotak pos yang akan tetap kosong sampai beberapa minggu tanpa ada satu surat pun yang masuk.

Aku tersenyum ketika menemukan sebuah surat undangan. Iya… Marwan akan menikah Minggu kedua di bulan Oktober tahun ini.

"Datanglah, aku sangat mengharapkan kehadiranmu.” Isi pesan dalam surat ini.
Aku membaca surat undangan tersebut dengan senyuman bahagia di bibirku. Aku bangga pada diriku sendiri, karena penantian dan harapanku yang panjang beberapa bulan yang lalu, hari ini semuanya benar-benar sudah terjawab.

AKu lega karena semua tentang cinta dan kenangan yang pernah kami rajut bersama-sama benar-benar sudah selesai.


*Cerpen Narty Patria, mahasiswa Universitas Cendana Kupang, asal dari Manggarai. Buku kumpulan puisinya berjudul "Menyetubuhi Rindu." Jika ingin membeli bukunya japri nomor WA 081337833247

Post a Comment

0 Comments