![]() |
| Keterangan Gambar: Roby Poco |
Ada dua bentuk keterlupaan terhadap masyarakat lokal dalam pembangunan. Pertama, pemusatan atau sentralisasi pembangunan pada wilayah perkotaan. Kedua, rancangan pembangunan yang bersifat instruksional. Pemerintah membuat suatu bentuk pengkotakan yang apik terhadap poin-poin pembangunan dan diturunkan kepada masyarakat untuk menjalankannya. Subyek pembangunan itu sendiri terpusat pada perancang (pemerintah) yang berada di balik gedung mewah.
Sentralisasi program pembangunan menghasilkan kesenjangan yang sangat jauh antara wilaya perkotaan dan pedesaan. Masyarakat pedesaan tetap terjerat dalam ketakberdayaan. Sementara masyarakat kota terbantu oleh ketersediaan sarana dan prasarana. Di sini sentralisasi dilihat sebagai salah satu bentuk ketidakadilan dalam pembangunan. Dengan ini, pemerintah menciptakan peluang kesenjangan yang semakin jauh antara masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Sentralisasi pembangunan juga menyebabkan ledakan urbanisasi. Para petani meninggalkan ladangnya dan beramai-ramai mengadu nasib ke kota. Konsekuensi selanjutnya urbanisasi menyebabkan keseringan terjadinya konflik dalam kota. Di antaranya, pencurian, perampokan, premanisme serta sejumlah masalah masyarakat kota lainnya. Ledakan urbanisasi ini mengindikasikan bahwa ada yang terlupakan dalam pembangunan.
Dalam konteks NTT, sentralisasi pembangunan menyebabkan membeludaknya masyarakat pedesaan yang mengadu nasib ke tanah orang. Ketidaktersediaan sarana pekerjaan yang baik bagi masyarakat pedesaan, hilangnya daya akomodasi pemerintah bagi para petani dalam persaingan pasar dan kemiskinan yang terus menghimpit lantaran praktek korupsi yang kian bertambah, menyebabkan anak-anak NTT menggantungkan harapan hidupnya pada negeri seberang. Pengucilan masyarakat pedesaan dalam pembangunan NTT merupakan pemicu dasar bagi kecendrungan masyarakat untuk mencari pekerjaan di Malaysia.
Baca Juga Cerpen Rindu Tak Sampai
Di lain hal, ada cukup banyak program pembangunan yang tidak menjawabi kebutuhan masyarakat. Sebagai misal, bantuan beras miskin (raskin). Pembagian beras miskin ditujukan kepada semua masyarakat, termasuk masyarakat dalam wilayah yang berpenghasilan beras.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan yang bersifat instruksional tidak dapat diandalkan dalam strategi pembangunan masyarakat. Karena dalam hal ini sangat jelas bahwa instruksionalisme dalam pembangunan mengabaikan peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat menjadi pasif dalam ketakberdayaan dan menjadi obyek percobaan dalam strategi pembangunan.
Pembangunan yang sentralistis berpusat pada kota dan ditentukan oleh pemerintah merupakan suatu bentuk pengucilan terhadap masyarakat lokal (pedesaan). Masyarakat diinstrumentalisasi dengan berbagai macam percobaan pendekatan pembangunan. Sentralisasi pembangunan mendepak masyarakat lokal dalam kebekuan dan ketakberdayaan. Mental masyarakat yang ingin disuap semakin berkembang. Hal ini justru mematikan daya kretivitas masyarakat.
Pembangunan
Memaknai pembangunan harus dimulai dari pemaknaan eksistensial terhadap dua hal yaitu kaitan pembangunan dengan martabat manusia dan sifat dasariah pembangunan yakni berkelanjutan. Dengan demikian pembangunan itu selalu berpusat pada manusia dan pembangunan itu harus berorientasi pada perkembangan nilai-nilai kehidupan manusia yang tidak hanya hidup hari ini tetapi sampai besok dan seterusnya. Manusia adalah makhluk yang mampu berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya.
Interaksi sesama manusia akan membentuk suatu komunitas yang mewadahi hasrat kesosialannya yang disebut masyarakat. Sampai pada konsep ini kita dapat mengafirmasi bahwa pembangunan itu selalu dimengerti dalam dua aspek yaitu pemerintah dan masyarakat.
Dana Desa dan Kembali “Ke Kampung”.
Zaman orde baru, dengan pembangunan yang sentralistis, membuat hampir semua daerah di luar pulau Jawa sangat ketinggalan. Pola pembangunan yang sentralistis merupakan pembangunan dari, oleh dan untuk pemerintah. Kembali ke kampung merupakan tawaran baru atas strategi pembangunan. “Kampung” merujuk pada dua makna, yakni masyarakat dan wilayah.
Pembangunan yang berorientasi ke kampung mengacu kepada pembangunan yang menyentuh kebutuhan masyarakat dan sekaligus menjangkaui wilayah terpencil. Tujuan pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, poin-poin pembangunan dalam suatu daerah harus menjawabi kebutuhan masyarakat itu. Demikian juga, kampung (wilaya pedesaan) harus mendapat perhatian utama demi pemerataan pembangunan.
Kesejahteraan masyarakat yang diharapkan mencakup juga masyarakat daerah terpencil, bukan hanya terarah kepada masyarakat kota. Program dana desa yang telah dicanangkan oleh pemerintah indonesia yang tak terbilang banyaknya hendaknya merangsang para pemerintah desa dan melihat ini sebagai peluang untuk membangun desa dan kesejahteraan masyarakatnya.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam misi pribadinya berkaitan dengan program dana desa melihat ini sebagai salah satu bentuk pembangunan yang harus bergeser dari pusat-pusat ekonomi dan politik menuju komunitas lokal (pedesaan). Mimpinya adalah bahwa pembangunan itu sedapat mungkin memasuki masyarakat lokal dengan segala karakternya. Untuk itu, diperlukan sebuah kajian terhadap komunitas pedesaan dalam pembangunan. Pergeseran orientasi pembangunan ini diharapkan dapat membongkar kebekuan masyarakat lokal.
Beberapa elemen penting sebagai pertimbangan dalam pembangunan. Pertama, pembangunan harus menjawabi kebutuhan konkrit masyarakat. Orientasi pembangunan harus terarah kepada manusia dengan segala kebutuhannya. Dengan ini instruksionalisme pembangunan perlu dipertanyakan. Rancangan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah harus melalui sebuah proses penelitian lapangan.
Dengan demikian masyarakat dapat menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan. Pembangunan yang menjawabi kebutuhan masyarakat hanya mungkin dalam sebuah penelitian dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal atau pedesaan. Pembangunan yang sentralistis mengabaikan peran masyarakat. Pembangunan seakan hanyalah milik pemerintah dan pembangunan semata-semata dimaksudkan untuk menakar keberhasilan suatu rezim kepemimpinan. Pembangunan dari dan oleh pemerintah semestinya diganti menjadi pembangunan bersama rakyat.
Pelaksanaan pembangunan daerah mesti berpijak pada pilar efektivitas dan efisiensi yang saling mengisi. Masyarakat lokal hadir dan lahir dari sumber daya budaya, pemerintah lahir dari interaksi demokrasi dan mekanisme pasar lahir dari sistem ekonomi. Masyarakat bukan lagi sebagai obyek pembangunan yang pasif, melainkan mesti berkembang sebagai subyek pembangunan yang proaktif dan otonom. Pemerintah sebenarnya harus hadir sebagai regulator dan fasilitator yang mendampingi masyarakat. Kedua, politik pembangunan harus berani membongkar kebekuan masyarakat kecil. Hal ini dilakukan demi pemerataan pembangunan. Kesenjangan masyarakat desa dan kota sangat tampak dalam wilayah NTT. Kita masih melihat dan menemukan cukup banyak daerah yang terisolasi dari pembangunan. Kondisi ini membekukan kreativitas masyarakat terpencil dalam mensejahterakan hidupnya.
Salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Untuk mencapai kesejahteraan rakyat perlu dilaksanakan pembangunan daerah yang berkeadilan. Indonesia pada faktanya dipayungi oleh demokrasi pancasila, dimana masyarakat berhak untuk mendapatkan keadilan yang sama. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa mempertimbangkan aspek keadilan akan mendorong timbulnya kesenjangan sosial. Perhatian khusus pada daerah yang terpencil merupakan jawaban atas tuntutan keadilan dalam pembangunan tersebut.
Di era otonomi ini, diharapkan pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan dan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuansa pemberdayaan sumber daya manusia. Khusus pemberdayaan masyarakat di desa-desa diharapkan agar hal tersebut mampu meningkatkan peran dan partisipasi mereka dalam aspek ekonomi, hukum, dan politik yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat.
Penutup
Lensa perpolitikan di negeri ini tak jarang menampilkan kepincangan para pemimpinnya. Di balik itu, tampak realitas rakyatnya yang terkurung dalam jeruji kemiskinan. Program dan pencanangan dana desa menjadi fenomena baru bagi masyarakat untuk merangsang pertumbuhan kesejahteraan desanya. Namun pelaksanaannya belum mencapai target. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegagalan pemerintah setempat dalam mengelola dana tersebut. Bukan suatu fenomena baru bahwa keegoisan birokrasi pemerintahan kita masih membungkus akal sehat para pemimpin bangsa ini. Maka yang terjadi adalah suatu metamorfosis anggaran untuk rakyat menuju sejahtera menjadi anggaran untuk pemerintah menuju sejahtera. Hal ini seringkali terjadi bahkan sampai saat ini bahwasanya pemerintah masih dililiti oleh belenggu korupsi, hingga pada gilirannya rakyatlah yang menjadi korban dan perlahan-lahan mati di atas keegoisan birokrasi. Oleh karena itu, untuk kembali kepada politik pembangunan, kita membutuhkan pemimpin yang sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan rakyatnya. Oleh kepemimpinan seperti ini saya yakin apapun program yang ditawarkan demi pembangunan rakyat akan berhasil karena diselenggarakan oleh suatu model pemerintahan yang baik pula.
*Roby Poco, anggota unit St. Agustinus, Ledalero.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis sendiri.


0 Comments