![]() |
| Keterangan Gambar: Senus Nega,SVD |
Sadar atau tidak, kehidupan seluruh umat manusia sudah lama dikuasai dan dikendalikan oleh sistem ekonomi neoliberalisme. Sistem ekonomi berhukum rimba ini menyasar ke hampir semua negara dan pada dasarnya menguntungkan negara-negara kaya dan menindas warga negara-negara berkembang. Melalui operasi bebas dan tanpa kendali, neoliberalisme melahirkan jenis penjajahan baru yang secara kasat mata menindas masyarakat kecil di negara-negara berkembang.
Hampir pasti tidak diketahui oleh seluruh masyarakat dunia, sistem ekonomi global neoliberalisme sesungguhnya dikawal oleh Lembaga Keuangan Internasional-IMF, Bank Dunia dan WTO dan dieksekusi oleh korporasi-korporasi transnasional.
Oleh karena itu, eksekutor lapangan yang menyebarkan wabah kapitalistik dan berdaya eksploitatif ke seluruh penjuru dunia adalah perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs): transnational corporations). Ini jelas merupakan sebuah neoklonialisme yang masif dan terstruktur, tapi cara kerjanya halus, licik, tak kentara, dan tak kelihatan (invisible) karena ia masuk melalui sebuah perdagangan dengan menggunakan sejumlah topeng teori ekonomi dengan bendera kebebasan yang ilusif.
Perusahaan-perusahaan transnasional yang dijiwai ideologi neoliberalisme tersebut mencari susu dan madu di negara-negara berkembang, yaitu kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Biasanya, perampasan susu dan madu negara-negara berkembang itu dilakukan melalui aktivitas pertambangan, pembakaran hutan dan pembalakan liar. Tanpa ampun mereka menggerus ruang hidup masyarakat negara-negara berkembang dan memperoleh keuntungan berlipat ganda darinya. Pada akhirnya, kepongahan dan karakter eksploitatif perusahaan-perusahaan transnasional ini, menghancurkan peradaban masyarakat setempat dan menggeser ruang mereka merayakan kehidupan.
Pada saat yang sama, lingkungan hidup atau Ibu Bumi menjadi rusak dan harus “berteriak” tiada henti menanggung kejahatan para investor dan orang-orang kaya. Berkenaan dengan ini, John Madeley menegaskan bahwa korporasi transnasional memiliki dominasi yang kuat dan seringkali mendatangkan dampak-dampak yang sangat besar terhadap ekonomi, sosial dan budaya pada negara, warga masyarakat dan lingkungan hidup mereka di seluruh dunia. Parahnya ialah korporasi-korporasi besar dan kaum kapitalis yang nimbrung di dalamnya, kendati mendatangkan banyak problem akut, tanpa beban terus melancarkan aksi pengerukan dan tidak menghiraukan keberadaan lingkungan hidup yang sudah semakin parah. Jadi, rasa memiliki dan tanggung jawab untuk memelihara ibu bumi dikalahkan oleh nafsu serakah untuk mendapatkan uang dan penumpukan kekayaan.
Sudah amat jelas bahwa pengerukan lingkungan hidup secara kolosal dan terus-menerus akan membawa kehancuran maha dahsyat. Manusia terlalu angkuh dan secara tidak langsung bertendensi untuk menjauh dari relasi intens dengan alam semesta. Sesungguhnya, dengan itu, manusia telah menolak tatanan alam semesta yang dibangun secara Ilahi dan mencoba membangun suatu tatanan buatan manusia sebagai gantinya, dengan asumsi bahwa manusia lebih tahu daripada alam tentang bagaimana seharusnya alam semesta dan bumi berfungsi.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebanyakan kita tidak lagi merasa hidup dalam alam semesta yang dipandang sakral. Alam pun sebatas dipandang sebagai sumber kehidupan ekonomi yang bisa dengan sebebas-bebasnya dieksploitasi. Manusia seolah-olah terasing dari kesucian alam dan bahkan bersikap antagonistis terhadap alam. Keserakahan ini serentak menolak Bumi sebagai ibu, saudari dan penyokong kehidupan.
Baca Juga Cerpen Orang- Orang Gila
Pada kompleksitas yang sama, kerusakan lingkungan hidup akibat ulah korporasi-korporasi transnasional akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sekaligus berdampak negatif bagi hidup manusia dan segenap ciptaan lainnya. Alam memang bisa secara natural mengatur siklus perubahan iklim. Namun, aktivitas manusia membawa pengaruh yang sangat besar bagi perubahan iklim global. Sudah disentil sebelumnya bahwa tidak ada kelompok lain yang secara masif dan kolosal merusakkan lingkungan hidup, selain perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dalam semangat neoliberalisme. Neoliberalisme sesungguhnya adalah sebuah sistem ekonomi yang beroperasi melalui mekanisme dan logika penuh tipu daya dan muslihat. Jadi, dalam tulisan ini, penulis memiliki tesis jelas bahwa perusahaan-perusahaan transnasional yang dikawal oleh Lembaga Keuangan Internasional-IMF, Bank Dunia dan WTO dan disemangati ideologi neoliberalisme merupakan akar, penyebab dan pelaku utama dari kerusakan lingkungan hidup di seluruh dunia yang menyata dalam aktivitas pertambangan.
Menanggapi patologi lingkungan hidup ini, Paus Fransiskus, mewakili suara hati Gereja universal menulis ensiklik Laudato Si yang secara khusus membahas tentang ekologi yang sedang terkoyak akibat keserakahan manusia. Ketelatenan dan ketekunan Paus Fransiskus mendata segala problem ekologi dunia dan kemudian menyertakan himbauan-himbauan penting merupakan wujud konkret dari ketegasan Gereja. Sesungguhnya, Gereja juga tegas dan berpegang teguh pada semangat menjaga bumi dan mengutuk segala bentuk tindakan pengrusakan lingkungan hidup.
Pada titik ini, Laudato Si jadi semacam himbauan profetik Gereja untuk menarasikan kondisi Ibu Bumi yang merana dan pada saat yang sama mengajak segenap umat manusia tanpa kecuali untuk kembali merangkul bumi dan memeliharanya secara bertanggung jawab. Dengan ini, Gereja menebarkan semangat misioner bagi segala bentuk persoalan krusial di tengah dunia dan yang amat urgen untuk ditangani segera adalah lingkungan hidup.
Untuk maksud dan tujuan itu, tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, penulis akan terlebih dahulu menjelaskan tentang terminologi, definisi dan karakteristik neoliberalisme. Kedua, penulis akan menyatakan bahwa neoliberalisme adalah akar dan penyebab utama dari perubahan iklim global. Bagian terakhir tulisan ini adalah penjelasan tentang himbauan profetik Laudato Si berkaitan dengan perubahan iklim dan segala bentuk kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kemudian, tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan singkat.
II. Identifikasi Terminologi, Definisi dan Karakteristik Neoliberalisme
Secara singkat, istilah neoliberalisme, yang secara harafiah berarti liberalisme baru atau aliran “kebebasan baru”, digunakan dalam bidang ekonomi untuk menggambarkan kebijakan ekonomi liberal yang diadopsi dan diterapkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional-IMF dan Bank Dunia-pada masyarakat dunia di negara mana pun secara rahasia dan sembunyi-sembunyi sejak tahun 1980-an. Nama-nama umum lain yang cukup popular dari sistem ekonomi ini adalah neokonservatisme, kapitalisme pasar bebas, neokapitalisme laissez faire, fundamentalisme pasar, ortodoksi neoklasik dan rasionalisme ekonomi. Nama-nama yang bervariasi ini sering digunakan oleh para pemikir ekonomi dan kritikus. Kendati digunakan secara bergantian, maksud dari beberapa nama itu tetap memiliki makna yang sama. Pada awalnya istilah neoliberalisme belum diketahui banyak orang di dunia.
Namun, di saat istilah neoliberalisme belum dikenal luas, secara empiris sebetulnya sudah menyata di depan mata masyarakat dunia. Hal ini jugalah yang membuat segenap warga dunia tidak sadar dan tidak tahu sistem ekonomi apa sebenarnya yang mendominasi kehidupan dunia. Dalam perjalanan waktu, istilah neoliberalisme ini dikenal oleh banyak warga dunia. Kini, istilah ini tidak lagi hanya dibicarakan oleh para pemikir politik dan ekonomi, tetapi juga sudah dimengerti oleh kalangan mahasiswa dan masyarakat luas. Walaupun demikian, tetap saja ada orang tertentu yang tidak memahami baik atau keliru memahami istilah neoliberalisme. Artinya, bahwa neoliberalisme memang sudah semakin mendunia dan semakin semangat membentangkan pengaruhnya bagi tatanan kehidupan dunia.
Hal lain yang penting berkenaan dengan neoliberalisme adalah definisinya. Terdapat banyak realitas bahwa neoliberalisme belum bisa didefinisikan secara baik. Banyak pemikir, bahkan sulit untuk mendefinisikannya secara sempurna. Hal itu terjadi karena luasnya cakupan neoliberalisme dan berkait kelindan dengan aneka persoalan kemanusiaan, seperti, ekonomi, politik, sosial budaya, hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup dan lain-lain. Namun, di tengah kegalauan mencari definisi yang pas, tetap saja hadir banyak pemikir yang menetapkan secara serius, runtut dan sistematis definisi tentang sistem ekonomi neoliberalisme ini. Dengan demikian, definisi neoliberalisme pun berseliweran di ruang publik dan diskursus ilmiah masyarakat dunia. Untuk mendukung keutuhan karya ilmiah ini, maka penulis mengambil definisi neoliberalisme yang digagaskan oleh Claudia von Werlhof, sebagaimana dikutip Alexander Jebadu, yakni sebagai sebuah pengkhianatan secara sadar atas kepentingan 99% penduduk planet ini. Ia membenarkan perampokan dan penjarahan. Ia merupakan senjata pemusnahan massal yang mengorbankan banyak nyawa manusia dan lingkungan hidup.
Definisi Claudia von Werlhof ini menegaskan secara amat jelas bahwa neoliberalisme itu bersifat eksploitatif dan bebas merampok atau menggerus ruang hidup masyarakat dunia. Hadir dalam bentuk korporasi-korporasi transnasional, sistem ekonomi neoliberalisme menjajah warga negara-negara berkembang dan secara permanen merusak sistem pendukung kehidupan di planet bumi. Korporasi-korporasi itu ingin mengamputasi individu dari tubuh organis, membiarkan warga hidup di luar kandungan ibu, dan melemparkan mereka ke dunia penuh bahaya.
Pada awalnya, neoliberalisme menggenggam empat kredo yang paling dasar: pertumbuhan ekonomi yang stabil, pasar bebas, globalisasi ekonomi dan privatisasi ekonomi. Untuk tujuan itu, negara tidak boleh membatasi dan mengontrol pasar. Pasar harus bebas dan aset-aset publik harus diprivatisasi supaya pengelolaannya lebih baik dan sistematis. Namun, janji menuju kemajuan itu hanyalah mitos dan palsu. Yang ada hanyalah ketidakseimbangan alam yang akhirnya mengancam keberadaan bumi. Berbagai masalah alam abad ke-21, seperti perubahan iklim, pemanasan global, dan banjir di berbagai tempat, adalah dampak langsung dari proses kerja neoliberalisme.
Kondisi ekonomi di negara-negara berkembang pun tetap berjalan di tempat atau bahkan terancam menjadi negara gagal karena cengkraman kuat neoliberalisme. Alih-alih membawa kemakmuran dan kejayaan ekonomi, neoliberalisme justru lebih banyak berdaya destruktif dan bertindak amoral. Oleh karena itu, karakteristik dasar neoliberalisme ialah tidak transparan, antidemokrasi, menguntungkan segelintir orang kaya dan memiskinkan mayoritas miskin, koruptif, penuh tipu daya, diskriminatif, jahat dan eksploitatif.
III. Neoliberalisme: Akar dan Penyebab Utama Perubahan Iklim Global
Salah satu bayaran paling tragis ekonomi konsumeristik (baca: neoliberalisme) hadir dalam kehancuran dan degradasi ekologis. Tentang ini, Jurgen Moltmann menegaskan bahwa krisis ekologi yang kita risaukan sekarang merupakan sebuah krisis dari seluruh sistem kehidupan di dunia modern yang ditandai industri dengan tanda-tanda utamanya mulai dari kepunahan hutan, pencemaran laut dan sungai, dan akumulasi CO2 di atmosfer hingga ke masalah perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming). Dengan itu, keteraturan alamiah Ibu Bumi menjadi terganggu dan kemudian membawa dampak negatif juga bagi kehidupan manusia. Kita akan kesulitan mengakses sumber daya alam yang vital untuk kehidupan, seperti air bersih, udara yang sehat, dan tanah yang subur untuk pertanian. Jeritan Bumi akan berujung pada jeritan kemanusiaan kita sendiri.
Pengerukan lingkungan hidup terus dilakukan melalui eksploitasi tambang. Menjadi parah dan memprihatinkan ialah bahwa eksplorasi dan eksploitasi tambang menjadi semakin marak karena negara sendirilah yang menjadi fasilitator kaum kapitalis. Jadi, pencurian, perampasan dan eksploitasi ruang hidup masyarakat difasilitasi sepenuhnya oleh penguasa, baik pusat maupun lokal. Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah Indonesia merupakan sebuah kejahatan yang serius terhadap kemanusiaan, melabrak demokrasi dan Pancasila. Aktivitas pertambangan yang dilancarkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional di Flores dan tempat-tempat lain di seluruh dunia dapat menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat kecil.
Selain itu, dapat menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran sungai dan air tanah, kepunahan spesies, mendangkalnya sungai dan penampungan air. Iklim dan musim berubah-ubah dan lahan pertanian mengering. Adanya cuaca ekstrem, banjir dan suhu bumi pun meningkat. Perubahan iklim yang tak menentu membuat lahan pertanian semakin kering dan akan membuat banyak daerah, termasuk NTT mengalami darurat pangan. Melalui karakternya yang bebas dan eksploitatif, perusahaan transnasional pun bebas melakukan deforestrasi. Deforestrasi tidak hanya menyebabkan hilangnya sumber keanekaragaman hayati dan makan untuk banyak orang, tetapi juga merupakan faktor utama dalam proses perubahan iklim. Menurut PBB, antara 18 dan 25% dari emisi gas rumah kaca disebabkan oleh setiap tahun.
Perubahan iklim akan mengubah dunia kita ke dalam situasi tak menentu. Kemarau akan berkepanjangan, debit air menurun, suhu Bumi terus meningkat, permukaan laut naik, dan sebagainya. Belum lagi muncul aneka jenis penyakit baru akibat perubahan itu. Ini akan sangat menakutkan sebab kita akan kesulitan mempertahankan hidup.
Paus Fransiskus mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah global dengan dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan dan politik. Ini merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia pada zaman kita. Semua manusia dan makhluk lain merasakan dampak dari perubahan iklim. Dan kelompok masyarakat yang paling rentan dari bahaya perubahan iklim adalah orang-orang miskin yang menggantungkan hidup mereka pada alam.
Lebih jauh, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa memang benar ada faktor lain (seperti aktivitas gunung berapi, perubahan orbit bumi dan poros bumi, siklus matahari), namun sejumlah studi ilmiah menunjukkan bahwa pemanasan global dalam beberapa dekade terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh konsentrasi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida dan lain-lain) yang dikeluarkan terutama sebagai akibat aktivitas manusia.
Jelaslah di sini bahwa Paus meyakini aktivitas manusia yang membawa kerusakan bagi alam semesta ini. Walaupun tidak disentil secara langsung, aktivitas manusia yang dimaksud Paus Fransiskus juga adalah sistem ekonomi neoliberalisme yang bergerak rahasia dan berdaya destruktif. Jadi, segala bentuk patologi kemanusiaan dan kerusakan permanen lingkungan hidup ialah disebabkan oleh sistem ekonomi global yang digerakkan dalam dominasi ideologi neoliberalisme. Ia pun menjadi akar dari perubahan iklim global yang dikhawatirkan seluruh masyarakat dunia dewasa ini.
Hal ini ditegaskan secara singkat dan padat oleh Ross Jackson, sebagaimana dikutip Alexander Jebadu, “sungguh, jika tujuan seseorang adalah untuk merusakkan peradaban kita, tidak ada orang yang bisa melakukannya secara lebih efektif daripada melalui penemuan sistem ekonomi dominan saat ini-neoliberalisme”.
IV. Laudato Si sebagai Himbauan Profetik Gereja
Menanggapi Rumah Bersama yang digerogoti aneka persoalan ini, Paus Fransiskus mengungkapkan keprihatian dan himbauan profetiknya mewakili Gereja universal melalui ensiklik Laudato Si. Terinspirasi oleh semangat St. Fransiskus Asisi, Paus Fransiskus sejatinya hendak menegaskan posisi Gereja Katolik yang selalu bersikap konsisten sehubungan dengan pandangannya tentang martabat pribadi manusia, pembangunan ekonomi-politik dan lingkungan hidup. Magisterium Gereja dan semua anggotanya membela, melindungi dan menjaga alam ciptaan sebagai hadiah dari Tuhan untuk kepentingan semua umat manusia. Gereja selalu secara profetis menyerukan dan memproposalkan sebuah pembangunan yang adil, menghargai martabat manusia dan ramah lingkungan. Atas dasar itu, Paus Fransiskus meyakini bahwa Gereja dapat menjadi kekuatan dahsyat dalam membawa kesembuhan bagi bumi yang sedang terganggu. Perjuangan itu menjadi semacam misi kenabian di tengah dunia dan bagian integral dari komitmen misioner Gereja.
Pada Bab II ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengetengahkan secara komprehensif poin-poin penting mengenai cahaya yang ditawarkan iman, hikmah cerita-cerita Alkitab, misteri alam semesta, pesan setiap makhluk dalam harmoni seluruh ciptaan, persekutuan universal, tujuan umum harta benda dan makna tatapan mesra Yesus yang kesemuanya itu mengajak kita hidup dalam harmoni, rasa syukur dan bertanggung jawab dengan dunia ciptaan. Paus menekankan pentingnya kesadaran total umat beriman untuk membawa diri sebagai penjaga dan pemelihara alam semesta, sebab ia (alam semesta) adalah hadiah terindah dari Allah sendiri.
Bab tentang ‘Akar Manusiawi Krisis Ekologis’, Paus menyebutkan teknologi, globalisasi dan antroposentrisme sebagai akar krisis ekologi. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, bentuk tindakan manusia paling brutal yang menjadi akar krisis ekologi dewasa ini sebenarnya adalah para kapitalis, korporasi-korporasi transnasional yang didukung penuh oleh ideologi neoliberalisme.
Pada Bab IV, Paus secara gamblang memproposalkan spirit ekologi integral. Ekologi model ini menyasar pada bidang lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan kehidupan sehari-hari. Model ekologi integral akan membawa kesejahteraan bagi semua orang dan adanya keadilan antargenerasi. Bab V dan Bab VI dari ensiklik tersebut, Paus Fransiskus mengajak segenap umat manusia untuk memiliki orientasi yang sama dalam bentuk dialog dan aksi-aksi nyata. Lebih jauh, Ia menekankan bahwa gaya hidup yang damai dan harmonis dengan alam lingkungan harus dimulai dengan pertobatan ekologis.
Secara lebih spesifik pada artikel 23, Paus Fransiskus memanggil umat manusia untuk mengakui perlunya perubahan dalam gaya hidup, produksi dan konsumsi, untuk memerangi pemanasan global ini atau setidaknya penyebab manusia yang menghasilkan atau memperburuknya. Untuk sebuah perjuangan yang lebih luas ke depan, segenap umat manusia perlu terlebih dahulu mengubah cara berpikir dan gaya hidup. Manusia harus keluar dari klaim bahwa alam menjadi harta karun yang seenaknya dieksploitasi menuju pada perspektif lebih terbuka yang menganggap alam sebagai Ibu, saudari dan penyokong kehidupan.
Berkenaan dengan dialog dan aksi bersama, dalam artikel 14, Paus Fransiskus berpesan bahwa “Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua. Gerakan ekologi di seluruh dunia telah membuat kemajuan besar dan berhasil membentuk berbagai organisasi yang berkomitmen meningkatkan kesadaran terhadap tantangan-tantangan ini.” Artinya, kerusakan lingkungan hidup merupakan keprihatinan bersama seluruh umat manusia. Oleh karena itu, harus punya semangat yang sama pula untuk terus menjaga dan memulihkan segala kerusakan yang terjadi.
Sebagai anggota Gereja, kita bisa ikut serta dalam perjuangan menjaga Bumi dengan mulai dari lingkungan keluarga, komunitas-komunitas dan lingkungan masyarakat. Umat juga bisa ikut serta dalam kegiatan reboisasi di tempat-tempat yang semakin gundul. Harus ada kesadaran melestarikan alam dengan setia menjaga kebersihan, menjaga hutan dan tidak membuang sampah sembarangan di tempat-tempat umum.
Karena akar dari krisis ekologi, termasuk perubahan iklim adalah neoliberalisme yang mengembangkan wabahnya melalui perusahaan-perusahaan transnasional, maka perlu adanya perlawanan dari masyarakat. Masyarakat, bisa dibantu oleh LSM-LSM dan semua orang yang berkehendak baik, dapat melakukan protes dan demonstrasi publik. Di era keterbukaan ini, masyarakat kecil juga punya ruang untuk menyampaikan aspirasi dan segala bentuk kegelisahan dalam hidup bersama.
Di Indonesia, protes dan demonstrasi itu sudah dimulai dan selalu dilakukan oleh anggota JPIC OFM Indonesia dan JPIC SVD bekerja sama dengan para uskup, imam dan awam yang memiliki niat yang sama menolak segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi. Selain itu, komunitas masyarakat dengan dibantu oleh LSM dan Komisi JPIC dapat membuat petisi tertulis yang berisi penolakan atau kutukan terhadap segala kerakusan kaum kapitalis dan kroni-kroninya.
Pada tataran refleksi akademis, mahasiswa, dosen dan para akademisi juga dapat melawan dominasi neoliberalisme itu melalui opini atau artikel ilmiah populer di Koran dan media online. Menurut Pater Alex Jebadu, SVD, misi kenabian Gereja melawan industri pertambangan dapat dilakukan dengan mulai dari advokasi, penyadaran dan pendidikan publik.
Gereja bisa hadir di tengah realitas hidup umat, hidup berdampingan dengan mereka, bersama-sama melakukan perlawanan dan memberikan pendidikan melalui seminar-seminar akademik dan katekese.
V. Penutup
Neoliberalisme telah menjadi ‘iblis’ dan monster yang menghadirkan wajah suram dalam janji pembangungan ekonomi politik dan secara nyata telah menyebabkan destruksi budaya, pemiskinan sistemik dan perusakan lingkungan hidup. Secara amat tragis, ia telah mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim akan mengganggu seluruh aktivitas kehidupan manusia.
Perjuangan bersama menjaga dan memulihkan Ibu Bumi menjadi sangat urgen. Paus Fransiskus telah memulainya dari refleksi mendalam ensiklik Laudato Si. Beliau mengajak dan menyadarkan seluruh umat manusia untuk kembali ke semangat awal menjaga dan memelihara Ibu Bumi. Kita perlu memiliki semangat ekologis yang dijiwai juga oleh cara berpikir dan gaya hidup yang sejalan dengan sakralitas alam semesta.
Kini dan di sini, kita harus mampu membangun hidup harmonis dengan alam dan berjuang untuk memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah rusak. Kita bisa berdialog dan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk perjuangan ini.
Senada dengan pesan profetik Paus Fransiskus, kita juga perlu melawan neoliberalisme sebagai akar dari segala krisis lingkungan hidup, melalui protes/demo terhadap aktivitas pertambangan, membuat petisi dan refleksi akademis dalam bentuk opini atau karya ilmiah. Gereja Katolik yang memiliki Komisi JPIC mesti tetap berjuang pada koridor kebenaran untuk membela kaum kecil dan melawan segala bentuk eksploitasi terhadap lingkungan hidup.
Kita mesti secara bersama-sama beralih dari karakter eksploitatif dan beralih kepada kepedulian terhadap alam semesta. Ini merupakan bentuk pertobatan ekologis yang harus menjadi semangat kita. Kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri tanpa menyelamatkan dunia di mana kita hidup. Kita memiliki tugas penting untuk menjaga bumi dan mewariskannya dalam kondisi baik untuk anak cucu kita di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, Thomas. Kosmologi Kristen. Maumere: Penerbit Ledalero, 2013.
Dale, Cypri J.P. Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Bajo: Sunspirit Book, 2013.
Ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, penerj. Martin Harun. Jakarta: Penerbit Obor, [tanpa tahun].
Hasiman, Ferdy. Monster Tambang: Gerus Ruang Hidup Warga Nusa Tenggara Timur. Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2014.
Jebadu, Alexander. Drakula Abad 21: Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme MutakhirBerhukum Rimba dan Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila. Maumere: Penerbit Ledalero, 2020.
---------------------. “Filsafat Lingkungan Hidup”, (ms.). Maumere: STFK Ledalero, 2015.
Madeley, John. Big Business Poor People: How Transnational Corporations Damage the World’s Poor. London: Zed Books, 2008.
Toussaint, Eric dan Damien Millet. Bank Dunia dan IMF: Alat Penjajahan Baru Negara Industri Terhadap Negara Berkembang Sejak Akhir Perang Dunia II, penerj. Alexander Jebadu. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.
Udu, Joan Damaiko. “Covid-19 dan Pertobatan Ekologis”, Harian Umum Kompas, 19 Mei 2020.
Wattimena, Reza A.A. Demokrasi: Dasar Filosofis dan Tantangannnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2016.
*Senus Nega, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang tinggal di unit St. Rafael Ledalero. Tulisan ini pernah dikutsertakan dalam perlombaan JPIC OFM Indonesia.


0 Comments