Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

ORANG-ORANG GILA


Orang-Orang Gila
Keterangan Gambar: Ivanno Collyn, SVD.

Pagi masih rendah. Dunia masih membersihkan diri dari serbuk embun. Yohanes Muda berjalan menembus jalan yang masih sepi. Sinar matahari terasa hangat menyentuh wajah dan sebagian lengan kirinya yang tertutup jas tipis berwarna merah maron.
Seekor anjing remaja berlari pontang-panting menyeberang jalan.
“Dasar anjing”
Seorang pengendara sepeda motor hampir menabraknya. Yohanes Muda menyepak sebuah botol Pocari Sweat di depannya. Ia agak menepi mendengar deru mesin kendaraan dari belakang. Sebuah mikrolet melambat ketika melawati Yohanes Muda. Sopir menjulurkan kepalanya keluar dari kaca jendela yang diturunkan. Bekas luka di pelipisnya tampak jelas. Yohanes Muda melambaikan senyum. Sopir itu pun membalasnya. Keduanya berkawan sejak belia. Sama-sama dari kampung, memutuskan untuk kuliah di Larantuka beberapa tahun lalu.
Namun, nasib setiap orang berbeda-beda. Nasib mungkin lebih seperti jalanan kota Larantuka. Semua hal yang akan seseorang temui sudah ada dan dipersiapkan, bahkan sebelum seseorang melewatinya. Sopir itu kembali menekan pedal gas. Mikrolet itu melaju pergi, membubungkan gumpalan asap hitam.
Baca Juga Cerpen Tuhan Batok Kepala
Yohanes Muda mempercepat langkah sambil sesekali melihat arlojinya. Perjalanan ke kampus masih agak jauh, takut kalau-kalau ia terlambat.
Yohanes Muda sebenarnya menyembunyikan rasa bersalah di balik lambaian senyum setiap kali berpapasan dengan Stiben, si sopir mikrolet itu. Lambaian senyum itu bagi Yohanes Muda adalah sebentuk ungkapan persetujuannya kepada nasib. Langit selalu menurunkan nasib yang berbeda ke atas setiap kepala.

      ***
“Bapanya meninggal dunia di Nunukan subuh tadi. Pesawat yang membawa jenazah bapanya akan tiba di Weri sore ini. Keluarga dari Adonara sudah menjemputnya. Dia di Weri, menunggu kepulangan bapanya. ”
Yohanes Muda rubuh di depan kamarnya sesudah mendengar cerita Ibu kos.
“Ke kampus dulu. Bukankah kamu pribadi yang sangat menghargai kemungkinan? Jangan patah arang.”
Saya menasihati sahabatku itu. Stiben tertegun di samping lemari pakaiannya. Matanya yang tiba-tiba memerah menerawang jauh.
“Baiklah, saya ke kampus.” Suaranya patah-patah.
Dilema melanda dirinya. Pagi ini, ia harus ikut UAS untuk kali pertama sebagai mahasiswa program Sastra Bahasa Indonesia sedang uang sekolahnya belum lunas.
“Bapa tidak lagi transfer uang dua bulan terakhir. HPnya tidak aktif setiap kali mama menghubunginya. Bapa menghilang.”
Stiben bercerita kepada saya sehabis berbicara dengan ibunya via telepon semalam.
Saya kenapa? Kenapa ibu ada di kamar saya?
Yohanes Muda bertanya sambil mengurut-urut keningnya.
“Kamu jatuh di depan kamarmu ini setelah ibu menceritakan Stiben.”
“Aku harus ke Weri”
“Jenazah sudah tiba di Weri. Stiben dan keluarganya sudah membawa bapanya ke Adonara tiga jam yang lalu. Om-nya menghubungi saya tadi. Saya akan ke Adonara esok hari. Kamu di sini, masih ujian kan?”
Yohanes Muda mendapati arlojinya menunjukkan pukul tujuh lewat empat belas. Malam yang menyedihkan.

     ***
“Keluargaku awalnya percaya bapa kena serangan jantung seperti yang termuat dalam surat keterangan tim medis Nunukan. Mama juga membenarkan itu karena beberapa tahun sebelum kematiannya, bapa selalu mengeluh sakit pada dada bagian kirinya.”
Stiben bercerita sambil membuka pintu kamar kosnya.
“Di tengah rasa sedih yang memenjarakan, saya malah jijik dengan jasad bapaku sendiri. Otoritas yang mengurus kepulangan bapa, tidak membolehkan keluarga membuka peti, apalagi sampai memeriksa jasad bapa.”
“Pintu sialan ini berulah lagi.”
Stiben kesal.
“Masukan anak kunci itu dengan tepat pada lubangnya. Putar kuat-kuat kuncinya dan goyang-goyang gagang pintunya.”
“Akhh, kamu ajar saya lagi. Saya lebih akrab dengan pintu ini.”
Stiben makin kesal.
Kau kan tak bersamanya seminggu yang lalu. Pintu kamarmu ini memang harus dirayu berkali-kali. Saya masuk setiap pagi dan sore hari. Curi bubuk kopimu.”
“Sialan kau.”
Yohanes Muda terbahak. Stiben puas, pintu kamarnya terbuka.
“Keluargaku meragukan kebijakan itu. Om Matias Ruing  malah curiga kalau-kalau ada yang sedang disembunyikan. Sedang saya malah tak menerima kebijakan itu. Bapa merantau ketika mama enam bulan mengandungku.”
“Sabar, sabar. Kau sebut nama Om Matias Ruing?”
Stiben menggerakkan alis mata kanannya.
“Siapa dia? Saya asing dengan nama itu.”
“Kepala Kelong dari Hadakewa. Hampir dua bulan belakangan, ia dan ABK-nya menjaring ikan di selat Solor, kadang-kadang sampai ke wilayah pantai Batu Roti, di Lewouran sana . Mereka bekerja malam hari dan akan ke rumah untuk beristirahat saat pagi menjelang. Mama-lah yang kemudian menujual hasil tangkapan mereka”
Yohanes Muda mengangguk pelan. Ia menunjukkan gestur sudah paham.
“Saya selama hidup hanya melihat sosok bapa lewat foto pernikahannya dengan mama, mendengar suaranya lewat nokia senter. Sudah pasti, saya sangat rindu bertemunya. Nah sekarang, ketika saya berkesempatan melihat bapa pertama dan terakhirnya kalinya, siapapun tidak boleh melarang saya.”
“Jas ini buatmu. Kau bisa pakai ganti-ganti dengan punyamu.”
Stiben melayangkan jas merah maron itu kepada Yohanes Muda.
“Lanjutkan ceritamu.”
Yohanes Muda tak menghiraukan jas itu.
“Ohh, keluargaku akhirnya membuka peti Bapa. Tengah malam, mama berteriak ketakutan ketika Om Matias Ruing berhasil membuka benang pembalut jasad bapa. Kami mendapati jahitan di tubuh Bapa. Bekas jahitan membentuk garis lurus, memanjang  dari bagian pangkal perut hingga dada. Selain itu, terdapat lebam yang memucat di sudut-sudut bibirnya. Ada dugaan dari keluarga, bapa mati tak wajar.
“Mama kos tiba di rumah beberapa menit sebelum upacara penguburan dimulai.”
Stiben menghamburkan semua pakaiannya dari lemari ke lantai.
“Bantu saya lipat. Saya harus pulang ke kampung sore ini juga.”
“Kamu pulang? Berhenti kuliah maksudmu?”
Yohanes Muda serius.
 “Mama sendiri. Saya tak rela melihatnya bekerja seorang diri untuk membiayai kuliah ini. Lagian, kebun kecil di kampung itu, menghasilkan uang yang tak seberapa. Saya harus berhenti kuliah. Kita berjuang bersama-sama di tempat yang berbeda. Ini pilihan yang sulit, tetapi ini hidup. Hidup adalah pilihan, bukan? Saatnya, kita belajar untuk saling merelakan. Kita memang seharusnya demikian, berjuang untuk pilihan kita masing-masing.”
Yohanes Muda terisak mendengar setiap kata yang keluar dari mulut sahabatnya tersebut.
Siang yang menyedihkan.
     ***
Hubungan keduanya nyaris beku setelah peristiwa itu. Terakhir kali, keduanya bertemu di kampung sewaktu Yohanes Muda libur natal tiga bulan lalu.
Stiben datang lagi ke kos siang ini.
“Besok, saya mulai bekerja sebagai konjak mikrolet di Badu.”
“Kau sudah bosan bekerja di kelong milik Om Matiasmu itu?”
“Saya tidak bosan. Saya memang tidak cocok bekerja malam hari.”
“Kebunmu?”
“Akh, sialan kau. Lupakan kebun itu. Bapa Besar sudah menjualnya kepada seorang dari Lohayong. Katanya, sepeninggal bapa, saya dan mama sudah menjadi tanggung jawab Bapa Besar.”
“Berapa gajimu sebulan sebagai konjak?”
“Itu konyol. PNS yeah kau tanya gaji? Tentu saja, uang yang akan kau berikan kepada mama kos setiap bulan lebih banyak jumlahnya.”
“Habiskan jatah makan siangku. Saya akan meminjam sepeda motor mama kos untuk mengantarmu ke Badu. Sejak kau pergi, mama kos semakin akrab dengan saya. Motornya sering saya pakai mulai siang setelah ia pulang kerja.”
Stiben menunjukkan jempolnya kepada sahabatnya itu.
“Kau barangkali hanya mengantarku sampai ke pasar Oka. Sopir sudah menungguku di sana.”
      ***
“Stiben sudah sembuh?”
“Dia sakit?”
“Kalian kan berteman, masa tak tahu? Dia babak belur dikeroyok oleh anak-anak Lamawalang selasa baru-baru di pasar Oka.”
“Saya sungguh tak tahu. Ia sudah tak main-main lagi ke kos hampir dua minggu terakhir.”
“Stiben buat ulah di Lamawalang. Dua hari sebelum hari naasnya, ada pesta di Lamawalang. Syukuran baptis seorang anak.  Saat acara bebas, Stiben meremas payudara seorang gadis. Pelipis kanan Stiben dihujam dengan batang gamal mentah sesaat setelah tiba di pasar Oka. Tak terhitung berapa kepalan tinju yang mendarat di sekujur tubuhnya.”
“Kau kira, kami tak tahu? Adikku mengingat baik muka dan nama bejatmu itu, babi.”
“Stiben bisa saja dibenamkan ke dalam parit di samping pasar jika saya dan beberapa orang tak cepat melerai.”
Yohanes Muda terpekur mendengar cerita dari Kakak Lian.
Lian punya darah China. Bapanya menikah dengan seorang gadis Lamaholot dari Waibalun yang sekarang menjadi ibunya. Ia tidak kuliah setelah tamat SMA. Ia urus toko keluarganya. Ia kenal baik Yohanes Muda pun Stiben. Tokonya menjadi langganan mereka setiap akhir bulan. 
“Hei adik,”
Yohanes Muda terkejut.
“Jangan terlalu memikirkannya. Saya tidak bermasud bercerita kepadamu sebab saya tahu kalian berteman. Kau pasti sudah tahu.”
“Akkhh, tidak apa-apa. Saya justru berterima kasih kakak sudah bercerita.”
“Iya, kalian kan sama-sama dari Adonara. Pernah kuliah sama-sama di sini, walau Stiben harus putus. Anaknya baik. Saya kenal kalian dengan baik. Kalian selalu membeli kebutuhan kos di sini. syering keil-kecil di sini, lalu pulang. Kau sebagai teman dekat, harus berbicara dengannya.”
Yohanes Muda pamit setelah membayar semua barang yang dibeli.
      ***
Stiben benar-benar tak menampakkan batang hidungnya di kos setelah rentetan peristiwa yang ia alami. Keduanya kerap bertemu di jalan, tetapi tak seakrab dulu. Seadanya. Saling melambai senyum lalu pergi.
Yohanes Muda punya niat ke Badu. Ia ingin mengajak sahabatnya yang kini sudah jadi sopir mikrolet itu main-main lagi ke kos, seperti dahulu. Namun, ia selalu kalah dari dirinya sendiri. Setiap kali niat itu terbit di kepalanya, pada saat itu juga ia cemas dianggap terlalu mencampuri urusan hidup sahabatnya itu. Ia cemas dicap sok penasihat atau lebih parah memamerkan kualitas dirinya sebagai mahasiswa. Pelan-pelan, hubungan keduanya renggang. Mulai jarang bertemu di jalan. Keduanya seperti sedang melegitimasi perkataan Stiben saban hari, saatnya kita belajar untuk saling merelakan, berjuang dengan nasib masing-masing
     .***
“Orang itu Stiben.”
Saya kaget. Seorang ABK duduk tepat di sampingku setelah menarik tali kapal yang dibuang seorang tukang ojek dari pelabuhan Larantuka.
“Saya lihat kau lihat dia dari tadi.”
“Kamu kenal orang itu?”
Saya sengaja bertanya.
“Ia sudah bekerja di kapal ini empat bulan lamanya ketika aku pertama kali diterima bekerja di sini. Minggu ini saya tepat enam bulan bekerja di sini. Ia yang mula-mula mengajari saya bagaimana harus melempar tali ketika kapal mendekati pelabuhan dan bagaimana bersikap ramah terhadap calon ataupun penumpang.”
Om bak menampar keras kedua sisi kapal. Sebagian air tempias ke arah kami.
“Ayo duduk lebih ke tengah.”
ABK itu mengajak saya.
“Sore-sore seperti ini, arus lumayan deras.”
“Stiben pernah jadi mahasiswa di Waibalun. Bapanya meninggal di Nunukan. Ibunya tidak bisa membiayai kuliahnya. Ia putus kuliah sebelum menyelesaikan semester pertama. Ia pulang ke kampung. Beberapa saat kemudian, ia kembali ke Waibalun setelah ia tidak bisa bekerja malam hari sebagai ABK kelong di kampungnya. Tanahnya diambil dan dijual oleh Bapa Besarnya. Ia yang tidak suka hidup ikut-ikut orang, memutuskan untuk menjadi konjak mikrolet di Badu. Sejak insiden pemukulannya oleh anak-anak Lamawalang, ia merasa hidupnya tak bebas. Sempat naik pangkat menjadi sopir beberapa bulan sebelum ketidaknyamanan membawanya ke sini.”
“Kau tahu banyak tentang dia. Kalian akrab.”
Saya menyela.
“Yeah seperti itu. Namun, ia lebih sering ke kampung ketika saya sudah bekerja di sini dua bulan lamanya. Ia sering terlambat bekerja bahkan lebih fatal tidak bekerja tanpa alasan. Saya akhirnya tahu apa yang sedang ia rasakan. Ia bercerita sekali waktu bahwa mamanya dihamili oleh seorang kepala kelong. Peristiwa itu membuatnya hancur berkeping-keping. Saya tak lagi bertemu dengannya setelah pemilik kapal ini memecatnya. Ia baru ada lagi di pelabuhan Larantuka kira-kira tiga minggu yang lalu. Namun, seperti yang kau ketahui, ia gila. Ia menjadi peminta-minta di pelabuhan Larantuka. Ia bahkan sering ditipu oleh tukang ojek dan diolok oleh anak-anak.
Kapal mendekati pelabuhan Tobilota. Si ABK meraih tali kapal, berdiri, dan melemparkannya ke pelabuhan.
Sebelum kapal ini benar-benar bersandar di pelabuhan Tobilota, kenalkan namaku Yohanes Muda. Saya sudah mempertanggungjawabkan skripsi di depan dosen penguji pagi ini. Sekarang saya tiba di adonara. Saya pulang sebagai seorang sarjana strata satu sastra Bahasa Indonesia.
Saya kaget, tetapi lebih banyak sedih melihat keadaan Stiben di pelabuhan Larantuka tadi. Melihatnya, saya kemudian mengunjungi kenangan kami berdua sebelum ABK tadi mengagetkan saya. Si ABK tidak tahu kalau ia sedang bersampingan dan bercerita tentang banyak hal yang sebenarnya ia tidak tahu baik. Ia tidak tahu sejatinya ia sedang bercerita kepada orang yang lebih tahu cerita itu dari pada dirinya. Saya mengalaminya. Saya bahkan punya kontribusi membuat Stiben gila. Saya dikalahkan oleh perasaan saya sendiri.
Setiap kali mengingat kisah itu, saya selalu merasa lebih pantas gila.


Nita Pleat, 02 Juli 2020
*Ivanno Collyn, penyuka sastra, tinggal di Nita Pleat, Ledalero.
 



Post a Comment

1 Comments