![]() |
| Foto dari Google |
Hidupku selalu mengandai-andai. Aku kadang mengandai-andai menjadi seseorang, menjadi pribadi otonom, berperasaan, dan berpikir. Aku tak pernah tahu apa aku berpikir saat ini. Aku tak pernah tahu seandainya aku berperasaan seperti yang aku andaikan saat ini. Malam selalu mengajariku bagaimana tersenyum dengan tulus dan merapalkan ayat-ayat doa dengan setiap ucapanku sebab bukankah setiap ucapan adalah doa? Andaikan aku adalah seorang manusia, itu saja sudah cukup bagiku. Sekali lagi andaikan aku adalah seorang manusia dengan rasa dalam hatiku, asa dalam denyut nadiku dan dengan Tuhan dalam kepalaku. Aku ingin menjadi tuhan dalam diriku sendiri walau hanya kutempatkan dia dalam kepalaku yang sering mengambang. Aku suka sekali berandai-andai menjadi seorang manusia. Aku sama sekali tak memahami arti hari bagi diriku sendiri namun aku mampu membaca waktu lewat fenomen yang timbul dari gelagat manusia yang adalah makhluk impianku. Ya sudah sejak lama aku ingin menjadi sesosok makhluk bertubuh namun apalah daya aku sering gagal menjadi manusia. Hari-hari hidupku adalah ke sana ke mari sebab aku tak terbatas pada ruang ataupun waktu yang fana. Aku bukan Tuhan, namun aku sempat memahamiNya dalam aliran-aliran air yang tak pernah sama setiap saat, namun aku sadari bahwa Tuhan yang dipuja manusia impianku tak sebatas pada panta rhei yang sebagaimana aku pahami dalam proklamasi si tua Heraklitus. Aku tak bisa memahami diriku sendiri meski itu aku tetap memahami manusia-manusia selalu ingin mengetahui siapa aku namun tak sampai benar-benar tuntas memahamiku sebab memang aku bukan makhluk sejati yang merujuk pada diriku sendiri dan perihal aku pun yang tak mampu memahami diriku sendiri. Aku tak pernah tahu apakah aku pernah dilahirkan namun sekarang aku benar-benar ada untuk saat ini dan entah sampai kapan. Para manusia suatu ketika pasti mati namun aku tak dapat mati dalam diriku sendiri walau aku paham makna kematian pada sosok manusia. Kisah ini terjadi ketika empat ribuan tahun yang lalu, setelah berusaha keras bahkan berkelahi dengan takdir hingga aku menempatkan Tuhan dalam kepalaku sampai akhirnya aku lahir bersama dengan daging manusia. Aku berusaha mengaturnya sesuai kemauanku namun terkadang aku harus bertekuk lutut pada bisikan suara gaib dalam dadanya, yang oleh mereka disebut hati nurani. Aku tak pernah peduli dengan hati nurani sebab aku berbeda alamat tempat tinggal dengannya. Ia menempati hati manusia tepat di bawah dada, sedangkan aku menempati batok kepala manusia. Umurku dalam daging manusia itu kira-kira dua puluh tahun ketika aku berjumpa dengan seorang tua berjenggot panjang namun berkepala botak. Orang tua itu menyerukan kebebasan yang hakiki dengan memprovokasiku untuk segera keluar dari onggokan badan itu sebab katanya onggokan badan itu hanyalah serupa penjara yang membelenggu kebebasanku. Aku lalu sempat bertanya-tanya apalah arti kebebasan tanpa ada pembatasan. Bukankah aku sendiri bebas dalam batasan onggokan badan itu? Si tua bangka itu terus memprovokasiku hingga akhirnya onggokan badan itu menyabiti dirinya sendiri dan aku terpental keluar dengan daya yang luar biasa kencangnya. Setelah aku terpental keluar, nyatalah bahwa onggokan itu akhirnya membusuk dan hancur.Aku sungguh sedih terhadap onggokan badan yang adalah tempatku dulu. Aku berusaha menangis sekencang-kencangnya walau tak ada titik-titik air yang jatuh dari pelipisku. Aku tak mampu bersedih sebab aku tak mampu merasa namun aku hanya berandai untuk bersedih. Beberapa kali aku melamar lagi menjadi salah seorang manusia lagi, namun lamaranku seringkali ditolak. Lalu aku berandai-andai menjadi orang yang sangat stress dalam hidupnya. Aku berusaha memukul-mukul diriku namun tiada rasa sakit kurasa, aku berusaha makan sebanyak-banyaknya untuk meluapkan kekesalanku namun aku tak pernah kenyang. Aku bahkan berusaha menyabit diriku sendiri namun tiada rasa sakit yang kurasakan. Aku ingin menjadi manusia, begitulah isi tangisku setiap hari. Aku berandai-andai untuk meratap dengan rasa sedih yang mendalam, namun aku tak merasakan apapun juga. Aku ingin sekali kembali menjadi manusia untuk menanak rindu pada orang-orang yang pernah aku kasihi empat ribu tahun yang lalu ketika lahir dan menjalani hidup hingga dua puluhan tahun. Masih ada rindu yang kekal pada ayah dan ibuku yang bersedia memeram aku dalam rahimnya yang kudus walau rindu itu hanyalah sebatas pada andaian semata. Aku berusaha merindukan gadis cantik pujaan hatiku dulu yang padanya cinta pertamaku mekar, ketika hidup yang begitu indah kualami ketika itu. Aku amat bahagia ketika ia menerima dengan lapang dada ungkapan rasa cinta dariku yang masih sempat aku gurat dalam gulungan-gulungan papirus. Aku berusaha untuk menangis mengingat serpihan-serpihan kisah yang tak mungkin bisa terulang kembali namun apalah daya, aku masih saja mengandai-andai. Aku ialah roh yang melalang buana dalam alun yang menurutku kurang membahagiakan meskipun aku tak berperasa. Aku berusaha menjelaskan diriku dari perspektif manusia namun apalah daya keinginanku tak pernah kesampaian lagi. Aku selalu berusaha menjadi manusia meski mimpi itu tak kesampaian. Aku sudah mencoba melamar menjadi manusia berkali-kali bahkan ini adalah kali yang kesepuluh ribu aku gagal menjadi seorang manusia. Aku tak memahami dengan pasti apa kesalahanku sehingga tak pernah diperkenankan menjadi seorang manusia. Aku mecoba untuk terus mengandaikan diriku sebagai seorang manusia lagi. Kala itu adalah suatu masa yang aku sendiri tak memahaminya ketika seperti biasanya aku berandai-andai menjadi seorang manusia. Tiba-tiba aku terhenyak kaget oleh suatu pengandaian pada masa empat ribuan tahun lalu ketika aku tidak pernah menghargai sesama ketika menjadi manusia. Aku lebih mengandalkan tuhan dalam kepalaku daripada Tuhan yang diimani oleh manusia. Aku kerapkali memuja tuhan dalam kepalaku sendiri tanpa menyadari Tuhan yang ada dalam setiap kepala, mata, telinga, hidung, mulut, perut, kaki, tangan, perut, seluruh diriku, alam semesta yang indah, langit dan bumi serta segala isinya. Si tuhan dalam kepalaku sesungguhnya bukan Tuhan dan aku selama ini tersesat menyembah tuhan yang salah. Aku sungguh merasa bersalah dan seandainya aku menjadi manusia, aku akan sangat menghargai hidup itu sebab hidup manusia adalah hidup yang paling indah menurutku. Hidup dalam konten ruang dan waktu ialah wujud hidup yang amat menyenangkan dengan rasa yang memampukanku untuk mencintai semua orang dan pikiran untuk mengatur hidup sesuai perintah Tuhan dan belajar tulus seperti merpati. Aku terhenyak kaget dari lamunan andai-andaiku dan kembali pada alunku yang aku sendiri tak pahami. Sepuluh ribu tahun yang lalu aku berusaha menghitung hari namun sekarang aku tak mampu lagi menghitung waktu bukan karena aku uzur ataukah malas namun karena aku ingin memfokuskan diri pada suatu hal yang menurut konsep manusia disebut aktivitas mengandai-andai. Pada suatu ketika, aku merasa seperti disetrum arus listrik dan aku pun sadari kali ini aku tak sedang berandai-andai. Aku terbelah bersama sel-sel tubuh manusia hingga suatu ketika aku dilahirkan kembali menjadi seorang anak manusia. Kebahagiaan yang tak berujung aku alami seketika itu juga. Kali ini aku tidak sedang mengandai-andai tetapi sekarang aku telah menjadi seorang manusia sungguhan. Rupanya ini adalah kali keseribu satu aku melamar menjadi manusia dan diterima setelah aku menyadari dosa-dosaku terutama dosa yang mentuhankan rasio dalam batok kepalaku. Tuhan yang mahabesar bukanlah sekedar alun kesadaran hakiki dalam otakku melainkan seluruh diriku ialah karya Tuhan semata. Pada fragmen kali ini aku kembali terlahir menjadi seorang manusia lelaki yang tampan dan perkasa.
Baca Juga Bulan Mei : Merenungi Maria Sebagai Bunda_
Kebahagiaan yang tak terkira kualami saat ini dan aku berusaha tidak lagi ingkar janji untuk menghargai sesamaku manusia, melindungi hak asasi sesamaku manusia, mencintai sesamaku dengan tulus dan yang lebih utama ialah agar aku tidak mentuhankan isi batok kepalaku. Aku akan menjadi pribadi yang sombong apabila selalu mentuhankan isi batok kepalaku dan dengan itu suatu ketika aku kembali menjadi roh tak berperasa. Aku akhiri fragmen berpuluh ribuan tahun masa hidupku dengan mengucap syukur atas anugerah kehidupan yang aku terima dari Tuhan. Syukur bagimu Tuhan atas kemanusiaanku dan terima kasih seribu pada ibu yang merelakan rahim sucinya untuk kutumpangi sejenak dan pada ayahku yang setia melindungi serta menjamin kebahagiaanku di dunia ini. Aku kini berjanji untuk beriman teguh kepada Tuhan selama-lamanya tanpa mentuhankan isi batok kepalaku sendiri agar aku tetap menjadi manusia walau terbatas pada ruang dan waktu dan di dalamnya aku menemukan kebebasan dan kebahagiaan tiada tara.
Baca Juga Bulan Mei : Merenungi Maria Sebagai Bunda_
Kebahagiaan yang tak terkira kualami saat ini dan aku berusaha tidak lagi ingkar janji untuk menghargai sesamaku manusia, melindungi hak asasi sesamaku manusia, mencintai sesamaku dengan tulus dan yang lebih utama ialah agar aku tidak mentuhankan isi batok kepalaku. Aku akan menjadi pribadi yang sombong apabila selalu mentuhankan isi batok kepalaku dan dengan itu suatu ketika aku kembali menjadi roh tak berperasa. Aku akhiri fragmen berpuluh ribuan tahun masa hidupku dengan mengucap syukur atas anugerah kehidupan yang aku terima dari Tuhan. Syukur bagimu Tuhan atas kemanusiaanku dan terima kasih seribu pada ibu yang merelakan rahim sucinya untuk kutumpangi sejenak dan pada ayahku yang setia melindungi serta menjamin kebahagiaanku di dunia ini. Aku kini berjanji untuk beriman teguh kepada Tuhan selama-lamanya tanpa mentuhankan isi batok kepalaku sendiri agar aku tetap menjadi manusia walau terbatas pada ruang dan waktu dan di dalamnya aku menemukan kebebasan dan kebahagiaan tiada tara.
*Penulis Theos Seran, Sekarang menetap di Wisma St. Mikhael Ledalero, Maumere.


0 Comments