![]() |
| Keterangan Gambar: Enu Oin, rindu seperti kopi, pahit dan manis campur aduk |
“Kucari Jalan Terbaik”, merupakan judul lagu dari penyanyi legendaris bernama Pance F. Pondang. Dalam lagu ini ada sebait lirik yang menyentuh hati ini. “Senyum dan tawa hanya sekadar saja. Sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara. Berawal dari manisnya kasih sayang, Terlanjur kita hanyut dan terbuai.” Lirik lagu ini mengingatkan aku pada sepotong kenangan bersamanya semasa itu. Senyum dan tawanya menjadi hangat sepanjang jalan hidup ini.
Senyumnya itu seperti mentari di pagi hari dan senja indah di sore hari. Sempurna untuk dipandang dan menjadi pelengkap rasa rindu pada setitik embun menjelang gersang datang. Sungguh indah ketika melukis kembali kenangan semasa itu. Kenangan yang menjadi pembawa rasa tersendiri dalam setiap memori hidup ini.
Entahlah, kenangan hanyalah menjadi kenangan. Kenangan tak selamanya terus dikenang. Dia hanya menjadi pelengkap rasa indah dalam hidup. Tanpa kenangan juga hidup seperti padang gurun, terus diliputi rasa gersang dan tak ada warna yang terlihat. Bersyukurlah bahwa aku pernah hidup dalam kenangan itu. Kenangan itu mengandaikan bahwa aku pernah hidup pada masa itu dan kukenang pada masa kini dan menjadi kenangan tersendiri di masa yang akan datang. Intinya aku pernah hidup pada kenangan itu.
Pagi ini ditemani kopi pahit ala Manggarai sambil mendengar lagu terbaik dari Pance F. Pondang, sedikit lega rasanya ketika hati telah menerima semua kenangan semasa itu. Sengaja aku memutar kopi pahit agar memori kenangan itu menjadi pudar dan terbawa oleh arus badai waktu. Dan aku juga sengaja memutar lagu dari Pance F. Pondang agar hati tahu bahwa setiap kali mendengar lirik lagu itu menjadi terobat di kala rindu telah menjadi gersang dan telah ditelan bersama sang waktu.
Baca Juga Cerpen: Sunyi Telah Menjadu Duka
Seandainya kami tetap hidup bersama pasti indah untuk dijalani. Tapi karena dia telah memilih untuk pergi maka hidup terasa empedu, pahit untuk dijalani. Memaksa dia untuk tetap tinggal bukanlah kehendakku melainkan kehendaknya yang terjadi. Dia memilih pergi bersama sang kekasih yang baru. Mungkin yang baru lebih baik dari yang lama. Entahlah, itulah pilihan yang terbaik dalam hidupnya. Aku juga rela dengan kepergiannya.
Aku tahu bahwa seseorang yang mencintai adalah seorang yang sanggup menahan diri, malah berkorban demi orang yang dicintainya. Hanya kalau seorang pencinta bersedia mengosongkan diri, maka dia dapat memberi ruang bagi sang kekasih. Kekasih inilah yang pada gilirannya memberikan kembali diri orang yang mengasihinya. Dengan memberikan dirinya, sang pencinta akan menerima kembali dirinya melalui orang yang dicintainya.
Hal ini aku tidak pernah merasakan ketika dia telah pergi. Padahal aku telah rela melepaskan yang lain hanya karena cinta akan dirinya. Betapa teganya perbuatannya itu. Coba pada awal pertemuan itu engkau jujur mengatakan kelak kita tidak akan bersama lagi, agar aku tidak selalu mengharapkan cintamu. Entahlah, biarkan cinta itu menjadi kenangan dalam hidup ini.
Pagi ini ditemani kopi pahit ala Manggarai telah menyadarkan aku bahwa cinta tak selamanya harus dimiliki. Cinta juga membutuhkan orang lain untuk melengkapi rasa cinta itu. Kini, aku mendefinisikan kehilangan sebagai dirimu. Pergi sejauh mungkin. Lenyap bersama sang waktu. Semua suka cita yang kuat telah lenyap bersama keberadaanmu. Yang ada hanya jejak-jejak kaki mengarah pada sebuah kekosongan hati.
Benarlah lirik lagu dari Pance F. Pondang bahwa senyum dan tawa hanya sekadar saja. Itu telah menjadi bukti dengan kepergianmu. Semuanya terlampau indah untuk kubiarkan menggerogoti harapanku. Biarkan kucari jalan terbaik setelah kepergianmu. Akan kusimpan semua kenangan kita sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara.
*Unit Rafael, 21 Juli 2020. Tulisan ini sebagai narasi sederhana untuk hati yang selalu haus dan rindu apa yang sepantasnya dicari di dalam segelas kopi.


0 Comments