![]() |
| Illustrasi dari Facebook |
Sejak lama kutemukan bahwa aku hidup dalam kobaran cinta kedua orangtuaku. Bukan kobaran yang menghanguskan aku melainkan kobaran yang memancarkan banyak kebajikan dan kebijakan untuk hidupku. Dengan segala kelemahlembutan ibu selalu siap menyajikan sesuap nasi bagiku. Sedangkan ayah, ia selalu mengajarkan kepadaku untuk mencintai kesunyian.
”Santus! Kata ayah dengan nada lembut. Jika engkau menemukan gemuruh dalam hatimu, masuklah dalam kesunyian. Jika engkau tak menemukan tujuan dalam perjalanan, masuklah dalam kesunyian dan jika engkau merasa sendiri masuklah dalam kesunyian”. Tutur ayah saat kami menikmati kopi buatan ibu. Saat itu pula senja mulai merangkak menuju dewa malam.
Semua narasi kehidupan yang pernah kulukiskan bersama kedua orangtuaku tiba-tiba sirna seketika. Pada subuh merangkak pagi, ibu dengan tiba-tiba menghadap pangkuan Ilahi, sedangkan ayah tiba-tiba menderita penyakit gangguan jiwa. Sungguh hidup penuh misteri. Tak dapat dipahami, diselami apalagi diprediksi. Aku tak berdaya ibaratkan kuntum bunga yang layu sebelum bermekar.
Musim kemerau telah datang seperti berlari-lari dari barat lalu menghempas menuju ke persawahan. Hari itu terik, persis suasana gurun. Dedaunan kering pada setapak enggan tuk berteberangan ke sana ke mari lantaran angin terlampau letih. Kampungku berubah wajah, gersang tampakknya. Ayah pun semakin bertingkah aneh. Siang tadi ia memukul seorang warga tanpa sebab.
Menurut cerita warga kampung, korban yang dipukulnya sedang rawat di rumah sakit terdekat karena kondisinya cukup parah. Mendengar berita itu aku coba menanyakan kejadian yang sebenarnya kepada ayah.
”Ayah, kenapa engkau memukul tetangga kita, apakah ia bersalah kepada ayah?” Tanyaku dengan nada agak rendah.
“Aku tidak memukul siapa-siapa. Tadi aku hanya menumbuk pohon pisang.” jawab sekenanya. Lalu ayah meninggalkan aku dan berjalan lagi. Sore menjelang malam, hatiku semakin pilu sebab warga kampungku sudah menangkap ayahku untuk dipasung. Ah..betapa kejamnya dunia ini. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku sudah berusaha mengajukkan permohonan kepada tua adat untuk member hukuman ringan kepada ayah tapi mereka bersihkeras untuk memasungnya. Sekarang aku hanya mampu mengunjungi dan menemani ayah di gubuknya yang telampau reot. Sejak tadi pagi, ia menangis mendesak aku untuk melepaskan balok yang menjepit kedua betisnya.
“Nak, tolong lepaskan ayah, aku tidak sakit lagi!” Suara tangisnya meluncur kuat pada nuraniku. Aku memeluknnya dan mengusap raut wajah ayah yang tertempel dengan debu tanah sebab selama ini aku dilarang oleh warga kampungku untuk mengunjungi ayah.
Tabir lara semakin terkuak saat aku menatap ayah dengan wajah lesuh dan hati gersang. Seketika itu juga datanglah seorang warga kampung ditemani oleh seorang pemuda. Pemuda itu mendekati aku dan ayahku lalu mencium telapak tangan ayah tanpa mengucap satu katapun. Mengapa ia dipasung?.Ceritanya panjang tuan, tapi intinya sejak kepergian istrinya, ia mengalami gangguan jiwa. Tegas seorang warga kampung seadanya yang datang bersamaan dengan pemuda itu. Karena menyaksikan penderitaan ayah yang semakin kritis, aku tak mampu menahan tangisanku.
Aku menangis sejadi-jadinya dan pasrah bahkan meminta Tuhan untuk segera menjemput ayah.
Sejak kepergian ibu, ayah selalu bertingkah aneh. Tak tahu penyebabnya. Jelasku, kepada salah seorang pastor yang bertandang ke gubuk kecil tempat ayah tinggal seusai merayakan pesta natal di stasiku.
Baca Juga Cerpen: Cacatan Pendek Untuk Sebuah Kenangan
Akhir-akhir ini ayah sering membawa barang tajam menggitari lorong-lorong kampung, sering juga ia mengancam warga kampungku. Karena merasa dilemma oleh ancamannya maka warga bersepakat untuk menyekapnya di salah satu gudang dekat kampung itu. Kesepakatan terbukti dalam tempo waktu yang singkat. Ayah disekap dengan keji dan tak manusiawi.
Aku selalu mengayunkanlangkah saja dengan hati pilu, lalu aku meraih pintu jeruji besi yang menjadi pembatas bisu dalam setiap pertemuanku dengan ayah. Ia berbaring beralaskan baliho rusak yang mungkin milik calon legislatif di tahun silam. Entah sudah berapa tahun yang merebah badan dan bermimpi ria di atas baliho itu. Tampaknya ia polos, tak berbaju dan hanya kenakan celana panjang kotor. Aku mencoba mendekatinya.
”Ayah baik-baik saja?" Tanyaku penuh harap.
“Engkau siapa, mengapa engkau panggil aku ayah, lagi pula aku masih muda kok, hahaha.” Ujarnya dengan mata melotot sambil menggoyang-goyangkan rantai besi yang memagut kedua kakinya. Ayah sudah tidak mengenal aku lagi. Aku dianggap sebagai orang asing. Tapi aku tetap yakin bahwa ruang hati ayah selalu mendambakan kehadiranku dan mengenalku. Panjang cerita dan banyak kisah yang kusyeringkan kepada pastor tadi dan ia berjanji akan selalu mendokan kesembuhan ayah.
Tuhan mengapa ayah berbeda? Mengapa Engkau membiarkan ayah menjalin cerita nestapa tanpa akhir dalam tutur luka penyekapan tak kunjung henti. Andaikan penderitaan bukan sesuatu yang subjektif, aku akan rela menimba sebagian penderitaan ayah untuk diisi dalam bejana hatiku supaya aku merasakan empedu yang dikecap oleh ayah. Dalam kerinduan penuh harap ini aku mengingat sederet kalimat yang pernah dilontarkan oleh ayah ketika aku berjalan bersamanya pada setapak menuju pekarangan kami.
”Nak, kebahagian di dunia ini adalah sesuatu yang fana bukan abadi. Kadang ketika kita menaburkan kebaikkan maka yang kita harapakan ialah kita akan menuai sukacita tapi jangan terlelap dengan harapan demikian sebab sering terjadi di mana jika kita menaburkan kebaikkan malah yang tumbuh adalah penderitaan. Jadi tidak ada yang pasti dalam hidup ini selain kematian”. Tegas ayah kepadaku. Aku sama sekali tidak merespon nasihat bijak dari ayah sebab bagiku mungkin nasihat ini menjadi trik ayah supaya aku tidak merasakan kelelahan menyusuri setapak berlumpur menuju pekarangan kala itu.
Ayah, bolehkah aku megusap sejenak wajahmu agar aku mampu melihat lebih utuh senyum yang pernah engkau umbarkan kala aku masih balita. Aku selalu merapalkan doa pada subuh dan senja hari untuk kesembuhan ayah. Bersama deru mentari dan amukkan senja, aku kisahkan kepada Tuhan madah derita di tubir duka maha dalam.
Dimanakah Tuhan yang selalu mendengarkan rintihan suaraku. Mengapa Engkau membiarkan ayah berkelana di sepanjang emperan tokoh tak tentu arah. Adakalanya ia tergeletak seperti sampah yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang sempat memandangnya. Sudah 20 tahun ayah menghabiskan ziarah hidupnya dalam jeritan yang tak kunjung usai, ditemani oleh semilir angin malam tuk menghempas rasa sesal dan pilu pada hamparan hatinya” Tuhan mengapa ayah berbeda”.
Lembaran hatiku semakin tersobek lantaran ayahku yang menjadi malaikat pujaanku terlelap dalam sunyi abadi. Pada pengujung subuh, balok yang sedari dulu memasungnya kini menjadi saksi kepergiannya, ia meraih batu nisan Ia pergi tanpa meninggalkan pesan kepadaku. Hatiku dirundung berjuta pertanyaan misterius.
“Mungkinkah ayah masih menyimpan rasa dendam dalam hatinya karena aku tidak berhasil mencari obat untuk menyembuhkannya. Mungkinkah pintu hatinya masih terulur dan masih ada kata maaf yang bisa kuraih darinya. Batinku semakin berkecamuk. Aku berusaha untuk membendung airmataku kala menatap raga perkasa terbaring kaku di samping papan putih.
Namun mata sanubari yang tersembunyi di kedalaman diriku berlinangkan air duka yang tertimbun pada seluruh ragaku. Kini ayah memberi kepastian kepadaku dan kepada semua orang yang berkabung bahwa jiwanya benar-benar terpisah dari tubuh yang selama ini haus akan uluran tangan dan kebeningan hati sesama. Aku tak sanggup menatap ayah yang membujur kaku, nadi tak berdenyut, tak ada desahan nafas tapi senyum terus terpancar dari raut wajahnya yang sudah fana.
Selama hidupnya, ayah menjalani petualang tanpa arah.
Mungkin inilah yang dinamakan takdir. Ayah menderita gangguan jiwa hampir setengah dari peziarahan hidupnya. Aku sungguh mengenal karakter ayah sebelum ia mengidap penyakit ini. Dia pendiam, tenang, bijaksana, sabar dan rendah hati. Setelah ayah mengidap penyakit gangguan jiwa, segalanya berubah total. Aku sulit untuk menemukan sosok sang ayah yang kukenal selama ini. Tapi, aku tidak pernah mengeluh atau meratapi kondisi ayah yang dari hari ke hari semakin sulit diprediksi perihal akar dari penyakitnya sebab bagiku ayah adalah segalanya ketika ibu sudah tak ada lagi. Aku siap melayani ayah dan ikut menderita bersamanya. Hati kecilku terus berkesal ”Tuhan mengapa ayah berbeda”.
Sosok yang kudambakan sudah pergi. Usai sudah ziarahmu ayah. Engkau tidur lelap dan usailah sudah derita jiwamu yang kerap dipasung puluhan tahun. Aku sungguh yakin, engkau pasti bahagia di alam sana karena engkau akan mengalami kesembuhan abadi oleh obat anugerah kematian yang Mahapencipta sediakan sejak awal mula saat engkau diciptakan. Tapi, ayah mengapa engkau tega menggoreskan luka nan mendalam dan memerah pada lembaran hatiku.
Engkau tak pernah membiarkan tubuhmu yang rapuh berbaring diatas pangkuanku. Aku rindu kata-katamu yang terakhir. Aku rindu memelukmu saat engkau menghembuskan nafasmu untuk yang terakhir, tapi segalanya sia-sia. Engkau lebih memilih untuk menyendiri. Mengukur dan menghitung langkahmu detik demi detik. Tak kenal pasrah sekalipun peziarahnmu penuh kegelapan bahkan engkau sendiri tak menyadari bahwa engkau sedang berbicara dan berjalan.
Dan sekarang engkau sendirian juga mengakhiri ziarah hidupmu hingga sampai ke liang lahat. Kini, narasi penyesalanku sudah usai. Aku rindu memanggil nama ayah. Nama yang selalu mengajarkan kesunyian kepadaku. Sekarang, aku berusaha untuk mencintai kesunyian itu sebab dalam kesunyian aku pasti mendengar suara ibu dan suara ayah yang polos menyapa dan merangkulku.
* Bertin Japa, tinggal di unit Yosef Freinademetz, Ledalero.


2 Comments
Saya terharu lah
ReplyDeleteThanks sdah menghibur kami dgan tulisanmu
terima kasih kepada Bertin e,,krena dia yang tulis...hahahaha,,,,
Delete