![]() |
| Ilustrasi dari Facebook |
I PENDAHULUAN
Seluruh kehidupan manusia penuh
dengan interpretasi, yaitu usaha untuk menunjuk suatu realitas dengan bahasa,
menjelaskan pandangan kita terhadap realitas tersebut. Interpretasi dijelaskan
dengan kata-kata yang lain untuk menunjukkan, dan menjelaskan kata-kata yang
lain itu juga dengan kata-kata lain.
Begitu terus, sehingga seluruh kehidupan
manusia dibangun dari struktur yang terbentuk melalui interpretasi. Selama
ribuan tahun manusia berkutat dengan usaha untuk menginterpretasi mengenai apa
yang ada di balik kehidupan, yang menyebabkan alam semesta dan kehidupan. Dan
selama ribuan tahun manusia berada dalam tegangan antara penjelasan imanen yang
tidak memerlukan pembuktian apa-apa, dan berpikir sebaliknya merupakan sebuah
keburukan dan memiliki konsekuensinya sendiri.
Penjelasan ontoteologis yang
tidak memiliki konsekuensi apa-apa selain kebingungan karena kita berusaha
mengidentifikasi Tuhan. Teks Kitab Suci menggambarkan Tuhan secara personal,
seolah memiliki sifat-sifat sebagaimana manusia namun sangat sempurna. Sosok
yang lebih ditakuti ketimbang didekati. Mendekati Tuhan berarti melewati
rintangan yang hebat yang tidak semua manusia mampu melewatinya. Ada tuntutan
pengorbanan diri dari manusia untuk mendekati Tuhan dan mencari penjelasan
tentang-Nya.
Baca Juga Puisi Di Bawah Remang- Remang Cahaya Matamu
Baca Juga Puisi Di Bawah Remang- Remang Cahaya Matamu
Setiap kebudayaaan memiliki
pandangan tersendiri tentang Wujud Tertinggi. Pandangan tentang Wujud Tertinggi
tersebut lahir dari kultus dan berangkat dari kenyataan sehari-hari masyarakat
dalam budaya manapun. Masyarakat Manggarai juga memiliki kepercayaan dan
pandangan mengenai konsep Wujud Tertinggi yang sering disebut sebagai Mori Kraeng.
Bagi masyarakat mangarai, Mori Kraeng
adalah pencipta dan asal-muasal segala sesuatu yang kelihatan. Tulisan
sederhana ini hendak memperlihatkan bagaimana pandangan orang Manggarai
mengenai Wujud Tertinggi (Mori Kraeng)
dan bagaimana pengaruh pandangan tersebut terhadap keseharian mereka.
II SELAYANG PANDANG TENTANG MANGGARAI[1]
Manggarai
merupakan sebuah wilayah
yang terletak di Flores bagian Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak ada literatur
atau informasi yang pasti tentang asal-usul nama manggarai. Sejak tahun 1960
Manggarai berdiri sebagai
sebuah kabupaten yang berstatus Daerah Tingkat II dibawah
pimpinan Charolus Hamboer. Pada tahun 2003 wilayah Manggarai mekar menjadi dua
Kabupaten (Manggarai dan Manggarai Barat).
Berselang beberapa tahun kemudian,
tepatnya pada 17 Juli 2007, secara defenitif Wilayah Manggarai yang sebelumnya
terdiri dari dua Kabupaten dimekar lagi menjadi tiga Kabupaten (Manggarai,
Manggarai Barat dan Manggarai Timur). Dengan ini maka, sekarang secara
adminisratif pemerintah, wilayah Manggarai terdiri dari tiga Kabupaten, yaitu;
Manggarai Barat dengan Ibu Kota Labuan Bajo, Manggarai dengan Ibu Kota Ruteng
dan Manggarai Timur dengan Ibu Kota Borong. Kendati secara admintratif
pemerintah, Manggarai telah menjadi tiga Kabupaten, namun tetap memiliki
budaya, tradisi dan bahasa yang sama yaitu Bahasa Manggarai. Demikian juga
denga nama atau sebutan untuk wujud tertinggi. Orang Manggarai menyebut Wujud
Tertinggi dengan sebutan Mori Kraeng.
Berdasarkan posisi geografisnya, wilayah Manggarai
memiliki batas-batas sebagai berikut; sebelah barat dibatasi oleh Selat Sape
dengan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Ngada, sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah
selatan berbatasan dengan Laut Sawu.
Sementara itu, luas topografi wilayah Manggarai
ialah 7.136,4 km2. Perlu diketahui juga bahwa sebagian besar penduduk Manggarai
beragama Kristen katolik yakni 93,30%di bawah
penggembalaan Gereja lokal Keuskupan Ruteng. Selebihnya menganut
agama-agama lain seperti Kristen Protestan, Islam, dan Hindu.
III PANDANGAN ORANG MANGGARAI TENTANG WUJUD
TERTINGGI DAN PENGARUHNYA TERHADAP CARA HIDUP
Pembuktian
tentang adanya Tuhan ternyata tidak hanya ada dalam pemikiran Thomas Aquinas
melalui lima jalan pembuktian tetapi juga ada dalam budaya Manggarai. Dalam
pemikiran Thomas Aquinas dibicarakan causa
prima ( penyebab pertama). Penyebab pertama ini yang oleh umat beriman
disebut sebagai Tuhan[2].
Kepercayaan masyarakat Manggarai tentang Tuhan tidak terlepas dari kultur agraris yang memiliki
keterkaitan erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan. Konsep tentang
Tuhan masyarakat manggarai terlahir dari beberapa kepercayaan.
Pertama,
kepercayaan akan roh alam dan roh leluhur. Kepercayaan akan roh alam
menumbuhkan keyakinan orang manggarai bahwa roh alam adalah jiwa dari alam
semesta dan roh alam ini bersifat abstrak dan transenden. Sedangkan roh leluhur adalah roh dari
orang-orang yang telah meninggal.
Kedua,kepercayaan akan adanya roh halus yang
lazim disebut Darat Tana(bidadari).
Roh halus ini diyakini sebagai malaikat yang bertugas untuk menjaga suatu
wilayah misalnya pelindung suatu suatu kampong.
Ketiga, kepercayaan terhadap
Tuhan atau Mori Kraeng. Mori Kraeng diyakini sebagai pemelihara,
pencipta segala sesuatu.[3] Mereka sudah mengimani Allah melalui kepercayaan
tradisional yang pada akhirnya memperkuat iman mereka ketika agama
Katolik hadir di tengah mereka berkat karya pewartraan para misionaris.
Baca Juga Cerpen Siti dan Goresan Luka Pada Kepingan Hatinya
Baca Juga Cerpen Siti dan Goresan Luka Pada Kepingan Hatinya
Sebelum
mengenal adanya Tuhan atau Mori Kraeng masyarakat Manggarai memiliki sistem kepercayaan kuno.Dalam catatan sejarah, dikisahkan bahwa
masyarakat Manggarai kuno tidak mengenal
adanya Wujud
Tertinggi atau Mori Keraeng, tetapi hanya mengenal sistem kepercayaan tertentu.
Adapun kepercayaan tuan tanah
(penduduk asli Manggarai) hanyalah bahwa bila mereka membuka kebun, maka
haruslah diadakan suatu perayaan untuk membawa persembahan kepada bidang tanah yang
mereka garap guna memohon panen, meminta kelimpahan; untuk menyatakan bahwa
badan tidak memunyai pakaian, perut tidak memunyai makanan; untuk berdoa agar
batang jagung berisi, agar bulir-bulir padi bernas sambil mengarahkan diri
kepada tanah itu. Mereka juga memohon kepada bentangan langit, supaya ia
menurunkan hujan.
Dari situlah (masih berbunyi) dalam doa persembahan sebagai
berikut, “dengarlah, engkau pria di atas, engkau, wanita, di bawah”. Menurut
kepercayaan masyarakat Manggarai kuno, para pemilik tanah adalah Darat.
Ia berdiam di mata air, rawa-rawa, hutan, air
yang dalam dan di mana-mana saja.[4]Selain
itu, masyarakat Manggarai kuno juga memiliki kepercayaan animisme.[5]
Setiap
doa (permohonan) dalam setiap perayaan
(kebiasaan) tersebut sama sekali tidak pernah menyebut Mori Kraeng sebab mereka tidak mengenal adanya Wujud Tertinggi. Mereka mengakui, bahwa Wujud Tertinggi yang disebut Mori Kraeng dibawa oleh para imigran, yakni orang Minangkabau,
Goa, Portugis, Makasar, Bima, Sumba dan Sabu.
Oleh cerita para pendatang baru
(imigran) itu untuk pertama kalinya mereka (penduduk asli) mendengar (nama) Mori Kraeng disebut-sebut.[6]Para imigran tersebut menganggap bahwa boleh jadi kepercayaan
atau kebiasaan yang mereka lakukan benar. Dari situlah masyarakat Manggarai
mengenal adanya Tuhan dengan sebutan Mori Kraeng. Mori berarti
tuan, dan Kraeng berasal dari bahasa Makasar yang mengandung arti
Raja, Tuan. Jadi Mori Kraeng berarti Tuan segala raja atau tuan segala penguasa.
Bagi masyarakat Manggarai kemudianMori Kraeng dianggap sebagai Pencipta alam semesta atau seluruh
jagat raya, yang dalam bahasa Manggarai sebagai Mori Jari agu Dedek. Secara harfiah sebutan ini diterjemahan dengan
“pembuat atau penjadi dan pembentuk”. Namun, sering diterjemahkan secara
tunggal dengan sebutan “Pencipta”. Sebagai Pencipta, Ia “mahakuasa” yang
berkuasa dari timur sampai ke barat, dari le
sampai le, dari lau sampai lau. Orang
Manggarai yakin
bahwa Ia berada “di atas”.
Orang Manggarai menyebutnya eta awang beta
(di atas surga).Yang
Mahatinggi juga sering disimbolkan dalam ungkapan sepertitana
wa awang eta(tanah di
bawah langit di atas).[7] Ungkapan ini hendak mengatakan bahwa Yang Mahatinggi
adalah penguasa tertinggi langit dan bumi. Ungkapan tana wa awang
eta dalam perjalanan waktu mengalami perubahan menjadi Mori ngaran, jari agu dedek, ata pukul ulung
le wa’in
lau, par awo kolep sale(Tuhan
pemilik segala-galanya dan mengataur dari hulu ke hilir, dari timur terbit
matahari hingga di barat terbenamnya).[8] Itu berarti bahwa Ia berada melampaui hal-hal yang
fisis-empiris.
Oleh karena itu, sulit dijangkau oleh rasionalitas manusia.
Untuk membuktikan adanya Wujud Tertinggi
itu, Anton Bagul Dagur mengacu pada “logo rumah adat Manggarai pada setiap
kampung (beo atau golo), terutama
pada rumah gendang ( rumah adat). Dia
langsung mengacu pada logo yang terdapat
pada puncak (bubungan) rumah adat itu (sebagaimana tampak dari luar). Ada tiga
logo yang ditunjukkan yakni:
pertama, periuk
persembahan, kedua, tanduk kerbau,
dan ketiga, atap ijuk yang bermodel
bulat. Untuk periuk persembahan itu, dia berkomentar bahwa periuk itu merupakan
simbol keyakinan sekaligus penghormatan dan penyembahan kepada Tuhan yang
menjadikan, Tuhan pencipta langit dan bumi serta segala isinya, Tuhan penjadi
dan pembentuk kehidupan manusia dan segala makhluk serta alam raya, sekaligus
juga untuk roh-roh yang mengganggu kehidupan manusia[9].
Berbagai nama itu menunjukkan adanya hubungan yang erat antara Wujud Tertinggi
itu dengan orang Manggarai dan duniannya. Betapa pun banyak nama itu, nama yang
paling lazim diberikan untuk Wujud Tertinggi itu adalah Mori Kraeng.
Orang Manggarai percaya bahwa alam
semesta telah dirangkum dan ditopang oleh Mori
Kraeng sehingga segalanya bisa berada. Ia secara tidak langsung hadir di
dalam dan melalui semua objek kategorial dunia ini. Karena transendensi Allah
itu, maka orang Manggarai hanya bisa mengalami Wujud Tertinggi secara tidak
langsung, sebagai horison yang secara implisit hadir di dalam setiap objek yang
mereka alami.
Pengalaman akan Wujud Tertinggi merupakan sebuah pengalaman
langsung yang diantarai. Orang Manggarai membutuhkan rumusan paradoks ini
karena Wujud Tertinggi yang transenden itu sungguh benar hadir, akan tetapi
kehadiran-Nya itu diantarai bagi orang Manggarai melalui peristiwa duniawi dan
unsur dunia ini. Orang Manggarai berpendapat bahwa alam semesta sebagai hadiah
yang menunjang hidup mereka.
Dan kalau ia mengalami alam semesta sebagai
hadiah, maka sekaligus secara implisit ia mengalami suatu kekuatan yang
menghadiahkan anugerah itu. Dan pemberian itulah orang Manggarai namakan Wujud
Tertinggi dan mereka hormati sebagai Mori
Kraeng. Allah sebagai sumber kehiduapan, sebagai penjamin hidup yang
menghadiahkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk hidup.
Iman
dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi dalam diri orang Manggarai membuat mereka
merasa yakin dan pasti bahwa mereka adalah anak-anak dari Mori Kraeng. Keyakinan ini begitu kuat sehingga menimbulkan
pengharapan untuk kelak bersatu dengan seluruh arwah leluhur dalam kebersamaan
dengan Mori Kraeng. Tetapi untuk bisa
tinggal bersama Dia, baik secara privat maupun komunal, mesti memiliki sikap
hidup yang baik, kepercayaan untuk mentaati larangan-Nya, dan mengucapakan
doa-doa dan menjalankan upcara-upcara umum yang berkaitan dengan hidup bersama.
Kerinduan untuk bersatu dengan Mori
Kraeng inilah yang membuat orang Manggarai pada zaman lampau lebih dominan
mengarahkan dirinya kepada kebaikan.
IV PENUTUP
Hampir seluruh masyarakat Manggarai
mulai dari Timur samapi Barat mempunyai keyakinan akan satu wujud tertinggi
yang disebut Mori Kraeng. Masyarakat
Manggarai umumnya menganggap bahwa Mori
Kraeng merupakan sumber utama dari segala yang ada di bumi. Mori Kraeng dapat hadir dalam seluruh
realitas manusia melalui obyek kategorial yang telah dicipta-Nya.
Namun
kepercayaan masyarakat Manggarai kepada Mori
Kraeng sebagai Wujud Tertinggi, sebenarnya bukan merupakan konsep yang ada
sejak awal terbentuknya masyarakat Manggarai. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, konsep Mori Kraeng sebagai wujud tertinggi sebenarnya merupakan sesuatu
yang muncul kemudian.
Keyakinan atau konsep masyarakat Manggarai tentang Wujud Tertinggi
ada dalam masyarakat Manggarai karena kehadiran para pendatang. Kepercayaan
yang awalnya hanya berpusat pada roh-roh halus, kemudian berubah menjadi keyakinan
akan adanya suatu Wujud Tertingi yang mencipta dan berkuasa atas segala
sesuatu, yang dikenal luas sebagai Mori
Kraeng.
Keyakinan pada Mori Kraeng ini
menentukan atau memeengaruhi banyak hal dalam kehidupan masyarakat Mangggarai,
mulai dari relasi dengan sesama, relasi dengan alam dan makhluk hidup lain,
serta relasi dengan Tuhan sendiri. Pada umumnya, kepercayaan akan Mori Kraeng tersebut menghantar masyarakat manggarai
kepada nilai-nilai kebaikan.
[1]Frederikus Djelahu Maigahoaku , “Analisis Hasil
UN 2009/2010 Pendidikan Menengah di Keuskupan Ruteng”, dalam Majalah Puspas Keuskupan Ruteng, Januari 2011,
hlm. 24.
[2]Leo Kleden, Filsafat Ketuhanan (Ms.) (Maumere, STFK
Ledalero, 2010).
[3]Menurut Robert
Mirsel hampir sebanyak 95 % orang Manggarai menganut agama Katolik.Namun, hal ini tidak berarti bahwa
kepercayaan akan adanya Yang Ilahi semata-mata karena ajaran iman katolik sebab
sejak masa lampau orang manggarai percaya akan adanya Allah melalui
paralelisme: Mori agu Nagaran, Jari agu
Dedek, Par Awo-Kolep Sale, tana wan-awang etan. Lih. Kanisius Teobaldus
Deki,”Ritus Teing Hang Orang Manggarai” dalam
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Missio vol. 1:5, 2013, hlm 37.
[4]J. A. Verheijen, Manggarai dan
Wujud Tertinggi, Penerj. Alex Beding dan Marcel Beding (Jakarta: Penerbit LIPI, 1991), hlm. 71-72).
[5]Animisme adalah suatu sistem kepercayaan yang percaya
akan adanya roh-roh nenek moyang yang telah meningga dunia. Animisme diyakini
sebagai salah satu kepercayaan paling tua dari manusia, yang diperkirakan sudah
ada sejak zaman paleolitikum. Alex Jebadu, Buka
Berhala!: Penghormatan Kepada Para Leluhur(Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 19.
[7]Stephanus O.
Fernandez, Kebijakkan Manusia Nusa
Tenggara Timur Dulu Dan Kini( Maumere: Ledalero, 1991), hlm. 312.
[9]Anton Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai salah satu
Khasanah Nasional (Surabaya: Ubhahara Press, 1996), hlm. 7-8.
*Tulisan ini hasil diskusi beberapa teman mahasiswa semester VI di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.


0 Comments