Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

JANJI

Janji
Foto dari Google
    

“Engkau seperti para pejabat yang selalu mengingkari janjinya. Mereka mulut manis tapi hati pahit. Mereka selalu bersabda yang baik tapi sembunyi yang buruk. Tangan halus tapi kasar dalam mengkikis uang rakyat. Tapi bagaimanpun engkau tetap pujaan hatiku. Engkau selalu menyadarkan aku akan pentingnya cinta tanpa syarat.” Itulah sebingkis kata-kataku saat dia telah pergi dengan membawa janjinya.
Dia telah pergi. Aku tak tahu apakah ia masih menyimpan semua kisah kebersamaan kami. Waktu masih bersama dulu, kami sempat menaruh janji untuk sehidup semati, dalam duka dan suka, dalam malang dan untung.  Kami pernah bermimpi untuk berbulan madu ke langit biru biar tak ada yang mengganggu. Kami punya mimpi bersama, memetik bintang dan menaruhnya di samping ranjang tempat kami menyingkap cinta, mengungkap janji.
Kini semua itu tinggal kenangan. Kekasihku telah pergi seperti mentari. Kepergianmu membuatku merana dalam kesepian. Aku bagaikan sang pengembara kehilangan panduan dari peta perjalanan yang dibawanya.  Bukan hanya kompas yang salah menunjuk arah angin, tapi sebagian hati ini telah yang dulu tertulis hanya namamu, kini kering seperti sungai tanpa air.
Di bukit sandar matahari ini aku sepi sendiri, duduk termenung menggores sebuah curahan hati untuk kekasih jiwa yang telah pergi dan tinggal entah di tepi mana di dunia ini. Setiap saat aku selalu ada waktu untuk memikirkannya. Aku tidak tahu semenjak dia pergi, apakah masih ada waktu untuk memikirkanku. Entahlah semoga ia masih mencintaiku.
Baca Juga Tulisan  Riko Raden Orang Tua Sebagai Agen Perubahan
                                                ***
Masih aku ingat setahun yang lalu saat merayakan ulang tahunku bersamanya di bukit Sandar Matahari. Ia berjanji datang membawa kado untukku, lalu bicara banyak tentang apa saja. Tetapi, ia tidak menepati janjinya. Entah alasan apa aku tak tahu. Intinya ia tidak menepati janji.
Aku tahu, mengingkari janji memang sangat menyakitkan, apalagi mengingkari janji tepat di hari ulang tahunku. Aku tak tahu dengan siapa aku merayakan ulang tahunku ini. Dia telah mengingkari janjinya. Janji yang pernah dilontarkan dari mulut manisnya. Entah alasan apa aku tak tahu. Intinya ia tak menepati janjinya.
Di bukit Sandar Matahari ini, aku masih sepi sendiri, masih setia menunggu pada janjinya. Aku bukan tipe  pribadi yang tidak menepati janji. Aku datang ke bukit ini karena janji, janji membuatku menunggu dan menunggu bukanlah tipe pribadiku karena menunggu membuatku jenuh. Akan tetapi karena janji sehingga aku tidak pernah jenuh untuk menunggu. Aku selalu setia pada janjinya. Walaupun ia tidak menepati janji, aku masih setia menunggu janjinya. Setia adalah pekerjaan yang baik. Setia membuatku selalu ada waktu untuk janjinya.
                                                ***
Ketika malam terang, aku membayangkan paras kekasihku itu menjelma pada rembulan pasi. Malam itu ia mampir ke kios Doni. Aku tak tahu dengan siapa ia datang malam-malam begini. Aku melihat jam tanganku pada pukul 12.00. Aku pernah mendengar cerita bahwa pada jam begini, tempat ini diramai oleh pasangan muda. Di setiap emperan kios penuh dengan pasangan tanpa status. Tetapi itu hanya mitos bukan fakta. Buktinya tidak ada pasangan muda di setiap emperan kios. Aku hanya melihat sosok seorang nenek dengan tongkat di tangan selalu setia memandang bulan. Mungkin ada masalah dalam hidupnya atau dia hanya sekadar melihat bulan itu seperti apa. Entahlah, hanya Tuhan dan  nenek ini yang tahu isi hatinya. Aku melihat kekasihku terus berdiri di emperan kios. Aku tahu ia datang tanpa membawa siapa-siapa. Penampilannya sangat sederhana, memakai sandal jepit dan celana panjang yang sering ia pakai saat aku bertamu di rumahnya. Biasanya di tangan kanan selalu memakai arloji yang pernah kubeli saat merayakan ulang tahunnya. Aku tahu ia datang tanpa membawa siapa-siapa.
“Engkau sedang buat apa di tempat ini. Engkau tahu sekarang jam berapa? Tanyaku saat mendekatinya.
“Eh,,ternyata engkau. Dia kaget dengan kehadiranku. Terus, engkau juga sedang buat di sini. Dengan pacar ya, jangan tipu! Jujur saja!” Sambungnya dengan nada agak manja.
“Tidak!!! Aku sendirian kok. Buktinya yang kamu lihat sekarang.” Jawabku.
Sebelum tapak-tapak kaki kami bergerak mendekat, tiba-tiba tangannya langsung memegang tanganku.
            “Selamat ulang tahun. Maaf aku terlambat memberi ucap. Saat hari ulang tahunmu, aku bersama ayah sedang berada di rumah sakit.”
            “Siapa yang sakit?”
            “Ibuku.”
            “Oohh, sakit apa? Tapi ibumu sekarang sudah baik-baik saja to.”
            “Ibu telah meninggal dunia.”
            “Apa?”
            “Iya, ibu telah meninggal dunia. Kata dokter, ibu meninggal karena serangan jantung.”
            “Mengapa engkau tidak memberitahukan padaku.”
            “Maaf, aku sengaja tidak memberitahukan kepadamu. Aku tidak ingin ulang tahunmu menjadi dukacita karena ibuku meninggal.”
Keheningan malam menjadi instrumen kami di tempat ini. Kami hanya menatap bulan yang terus menyinari malam gelap di tempat ini. Sesekali bintang mendekati bulan lalu pelan-pelan dia menjauh. Di celah sinar rembulan aku sesekali mencuri perhatian pada wajahnya. Dia sangat cantik, pipi lesung dan bibirnya sangat tipis. Seandainya malam ini aku ingin bersamanya sampai mentari datang, mungkin aku bisa memeluknya. Tetapi aku tahu, dia bukan tipe wanita yang gampang dirayu. Mungkin dia sangat marah apabila aku meminta untuk mencium keningnya sekali saja.
“Bagaimana pekerjaanmu? Ada yang menarik hari ini?” Aku mencoba memecah keheningan dengan menanyakan pekerjaan tanpa berpikir dahulu, apakah ia sudah mendapat pekerjaan atau belum.
Ia tiba-tiba sadar, mungkin sedari tadi masih terus menikmati bintang yang selalu ingin mendekati bulan. Atau mungkin dia masih mengingat peristiwa yang menimpa hidupnya saat ibunya meninggalkan dia selamanya.
“Pekerjaanku tidak jelas. Pandangannya terus memandang pada bulan. Saat ibu telah pergi dari hidupku, aku kurang fokus dengan pekerjaan. Apalagi selama ini hanya sedikit yang benar-benar peduli padaku tidak seperti ibu masih hidup”. Sambungnya dengan nada agak halus.
“Saat ibumu masih hidup, bekerja sebagai apa!!”. Tanyaku sekali lagi.
“Ibuku, dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahan kelapa sawit. Dia orangnya baik, sederhana, murah senyum dan selalu pergi kerja tepat pada waktu. Sifat-sifatnya ini tak ada satu pun yang tertanam dalam hidupku.”
“Oohh!!!” Aku hanya mengangguk kepala dengan jawabannya.
Setelah mencurahkan semua rasa sesalnya. Aku melihat dia tersenyum padaku. Aku merasakan isi hatinya hadir bersama hembusan angin malam yang menyentuh kulit tubuhku. Aku guratan rindu ada di sana. Begitu lembut! Dalam hatiku ada rasa rindu dengannya. Dia tidak pernah sadar kalau aku selalu merindukannya. Aku terbuai karena senyumnya. Seolah aku mendengar bisikan hatinya, lembut terasa dalam desiran angin malam dan suara bintang dari kejauhan. Hatiku enggan untuk mengatakan bahwa aku selalu rindu padanya, tapi biarlah rasa rindu ini terus terpendam sampai saatnya tiba.
Sementara kami sedang asyik bercakap-cakap sambil menatap langit terang malam itu. Tangan kami saling bertemu, saling menggenggam. Tanpa suara lagi. Hanya sesekali suara napas mendesah gemuruh seperti gemuruh tiupan bocah dekil bermain karet gelang. Tiba-tiba ada pemuda tampan dengan mobil avansa mendekati kami. Tak lama kemudian, dia mendekati kami lalu mengulurkan tangannya kepadaku.
“Tono, pacarnya Enjel. Maaf sekarang larut malam. Kami segera pulang ke rumah.” Katanya .
“Joni, temannya Enjel.” Jawabku sambil melepaskan tangannya dari genggaman tanganku.
“Maaf. Maksudmu, engkau pacarnya?” Tanyaku tak paham.
“Iya, kami sudah dua tahun berpacaran. Mulai sekarang jangan bertemu dengan dia lagi!!”Jawabnya.
Kesunyian menyergap kami bertiga sesaat. Aku bertahan agat tidak jatuh. Toni memandang Enjel, lalu memandangku. Aku memandang Enjel dengan pandangan bingung.
            Akhirnya setelah beberapa waktu, Tono berkata lagi:
            “Maaf Joni. Kau terlambat mendapatkan hatinya. Aku dan Enjel telah memutuskan untuk melanjutkan kisah cinta kami sampai maut memisahkan kami.”
            Suara itu nyaris tak terdengar di telingaku karena tidak percaya akan semuanya itu. Janji yang pernah kami buat di bukit Sandar Matahari telah ditelan raja malam. Janji kami telah dibatasi oleh kehadiran Toni.
            “Sekali lagi, maaf Joni, dan kami harus pergi dulu.” Suara Tono semakin samar.
Tono dan Enjel kemudian berlalu, saling berdekapan. Aku menatapnya dalam pandangan yang kabur karena air mata yang tumpah tak tertahankan sampai kemudian semuanya terasa gelap dan kosong.
       

Post a Comment

0 Comments