![]() |
| Foto dari Google |
“Engkau seperti para pejabat yang selalu mengingkari janjinya. Mereka mulut manis tapi hati pahit. Mereka selalu bersabda yang baik tapi sembunyi yang buruk. Tangan halus tapi kasar dalam mengkikis uang rakyat. Tapi bagaimanpun engkau tetap pujaan hatiku. Engkau selalu menyadarkan aku akan pentingnya cinta tanpa syarat.” Itulah sebingkis kata-kataku saat dia telah pergi dengan membawa janjinya.
Dia
telah pergi. Aku tak tahu apakah ia masih menyimpan semua kisah kebersamaan
kami. Waktu masih bersama dulu, kami sempat menaruh janji untuk sehidup semati,
dalam duka dan suka, dalam malang dan untung. Kami pernah bermimpi untuk berbulan madu ke
langit biru biar tak ada yang mengganggu. Kami punya mimpi bersama, memetik
bintang dan menaruhnya di samping ranjang tempat kami menyingkap cinta,
mengungkap janji.
Kini
semua itu tinggal kenangan. Kekasihku telah pergi seperti mentari. Kepergianmu
membuatku merana dalam kesepian. Aku bagaikan sang pengembara kehilangan
panduan dari peta perjalanan yang dibawanya.
Bukan hanya kompas yang salah menunjuk arah angin, tapi sebagian hati
ini telah yang dulu tertulis hanya namamu, kini kering seperti sungai tanpa air.
Di
bukit sandar matahari ini aku sepi sendiri, duduk termenung menggores sebuah
curahan hati untuk kekasih jiwa yang telah pergi dan tinggal entah di tepi mana
di dunia ini. Setiap saat aku selalu ada waktu untuk memikirkannya. Aku tidak
tahu semenjak dia pergi, apakah masih ada waktu untuk memikirkanku. Entahlah
semoga ia masih mencintaiku.
Baca Juga Tulisan Riko Raden Orang Tua Sebagai Agen Perubahan
Baca Juga Tulisan Riko Raden Orang Tua Sebagai Agen Perubahan
***
Masih
aku ingat setahun yang lalu saat merayakan ulang tahunku bersamanya di bukit
Sandar Matahari. Ia berjanji datang membawa kado untukku, lalu bicara banyak
tentang apa saja. Tetapi, ia tidak menepati janjinya. Entah alasan apa aku tak
tahu. Intinya ia tidak menepati janji.
Aku
tahu, mengingkari janji memang sangat menyakitkan, apalagi mengingkari janji
tepat di hari ulang tahunku. Aku tak tahu dengan siapa aku merayakan ulang
tahunku ini. Dia telah mengingkari janjinya. Janji yang pernah dilontarkan dari
mulut manisnya. Entah alasan apa aku tak tahu. Intinya ia tak menepati
janjinya.
Di
bukit Sandar Matahari ini, aku masih sepi sendiri, masih setia menunggu pada
janjinya. Aku bukan tipe pribadi yang
tidak menepati janji. Aku datang ke bukit ini karena janji, janji membuatku
menunggu dan menunggu bukanlah tipe pribadiku karena menunggu membuatku jenuh.
Akan tetapi karena janji sehingga aku tidak pernah jenuh untuk menunggu. Aku
selalu setia pada janjinya. Walaupun ia tidak menepati janji, aku masih setia
menunggu janjinya. Setia adalah pekerjaan yang baik. Setia membuatku selalu ada
waktu untuk janjinya.
***
Ketika
malam terang, aku membayangkan paras kekasihku itu menjelma pada rembulan pasi.
Malam itu ia mampir ke kios Doni. Aku tak tahu dengan siapa ia datang
malam-malam begini. Aku melihat jam tanganku pada pukul 12.00. Aku pernah
mendengar cerita bahwa pada jam begini, tempat ini diramai oleh pasangan muda.
Di setiap emperan kios penuh dengan pasangan tanpa status. Tetapi itu hanya
mitos bukan fakta. Buktinya tidak ada pasangan muda di setiap emperan kios. Aku
hanya melihat sosok seorang nenek dengan tongkat di tangan selalu setia
memandang bulan. Mungkin ada masalah dalam hidupnya atau dia hanya sekadar
melihat bulan itu seperti apa. Entahlah, hanya Tuhan dan nenek ini yang tahu isi hatinya. Aku melihat
kekasihku terus berdiri di emperan kios. Aku tahu ia datang tanpa membawa
siapa-siapa. Penampilannya sangat sederhana, memakai sandal jepit dan celana
panjang yang sering ia pakai saat aku bertamu di rumahnya. Biasanya di tangan
kanan selalu memakai arloji yang pernah kubeli saat merayakan ulang tahunnya.
Aku tahu ia datang tanpa membawa siapa-siapa.
“Engkau
sedang buat apa di tempat ini. Engkau tahu sekarang jam berapa? Tanyaku saat
mendekatinya.
“Eh,,ternyata
engkau. Dia kaget dengan kehadiranku. Terus, engkau juga sedang buat di sini.
Dengan pacar ya, jangan tipu! Jujur saja!” Sambungnya dengan nada agak manja.
“Tidak!!!
Aku sendirian kok. Buktinya yang kamu lihat sekarang.” Jawabku.
Sebelum tapak-tapak
kaki kami bergerak mendekat, tiba-tiba tangannya langsung memegang tanganku.
“Selamat ulang tahun. Maaf aku
terlambat memberi ucap. Saat hari ulang tahunmu, aku bersama ayah sedang berada
di rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Ibuku.”
“Oohh, sakit apa? Tapi ibumu
sekarang sudah baik-baik saja to.”
“Ibu telah meninggal dunia.”
“Apa?”
“Iya, ibu telah meninggal dunia.
Kata dokter, ibu meninggal karena serangan jantung.”
“Mengapa engkau tidak memberitahukan
padaku.”
“Maaf, aku sengaja tidak
memberitahukan kepadamu. Aku tidak ingin ulang tahunmu menjadi dukacita karena
ibuku meninggal.”
Keheningan
malam menjadi instrumen kami di tempat ini. Kami hanya menatap bulan yang terus
menyinari malam gelap di tempat ini. Sesekali bintang mendekati bulan lalu
pelan-pelan dia menjauh. Di celah sinar rembulan aku sesekali mencuri perhatian
pada wajahnya. Dia sangat cantik, pipi lesung dan bibirnya sangat tipis.
Seandainya malam ini aku ingin bersamanya sampai mentari datang, mungkin aku
bisa memeluknya. Tetapi aku tahu, dia bukan tipe wanita yang gampang dirayu.
Mungkin dia sangat marah apabila aku meminta untuk mencium keningnya sekali
saja.
“Bagaimana
pekerjaanmu? Ada yang menarik hari ini?” Aku mencoba memecah keheningan dengan
menanyakan pekerjaan tanpa berpikir dahulu, apakah ia sudah mendapat pekerjaan
atau belum.
Ia
tiba-tiba sadar, mungkin sedari tadi masih terus menikmati bintang yang selalu
ingin mendekati bulan. Atau mungkin dia masih mengingat peristiwa yang menimpa
hidupnya saat ibunya meninggalkan dia selamanya.
“Pekerjaanku
tidak jelas. Pandangannya terus memandang pada bulan. Saat ibu telah pergi dari
hidupku, aku kurang fokus dengan pekerjaan. Apalagi selama ini hanya sedikit
yang benar-benar peduli padaku tidak seperti ibu masih hidup”. Sambungnya
dengan nada agak halus.
“Saat
ibumu masih hidup, bekerja sebagai apa!!”. Tanyaku sekali lagi.
“Ibuku,
dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahan kelapa sawit. Dia orangnya
baik, sederhana, murah senyum dan selalu pergi kerja tepat pada waktu.
Sifat-sifatnya ini tak ada satu pun yang tertanam dalam hidupku.”
“Oohh!!!”
Aku hanya mengangguk kepala dengan jawabannya.
Setelah
mencurahkan semua rasa sesalnya. Aku melihat dia tersenyum padaku. Aku
merasakan isi hatinya hadir bersama hembusan angin malam yang menyentuh kulit
tubuhku. Aku guratan rindu ada di sana. Begitu lembut! Dalam hatiku ada rasa
rindu dengannya. Dia tidak pernah sadar kalau aku selalu merindukannya. Aku
terbuai karena senyumnya. Seolah aku mendengar bisikan hatinya, lembut terasa
dalam desiran angin malam dan suara bintang dari kejauhan. Hatiku enggan untuk
mengatakan bahwa aku selalu rindu padanya, tapi biarlah rasa rindu ini terus
terpendam sampai saatnya tiba.
Sementara
kami sedang asyik bercakap-cakap sambil menatap langit terang malam itu. Tangan
kami saling bertemu, saling menggenggam. Tanpa suara lagi. Hanya sesekali suara
napas mendesah gemuruh seperti gemuruh tiupan bocah dekil bermain karet gelang.
Tiba-tiba ada pemuda tampan dengan mobil avansa mendekati kami. Tak lama
kemudian, dia mendekati kami lalu mengulurkan tangannya kepadaku.
“Tono,
pacarnya Enjel. Maaf sekarang larut malam. Kami segera pulang ke rumah.”
Katanya .
“Joni,
temannya Enjel.” Jawabku sambil melepaskan tangannya dari genggaman tanganku.
“Maaf.
Maksudmu, engkau pacarnya?” Tanyaku tak paham.
“Iya,
kami sudah dua tahun berpacaran. Mulai sekarang jangan bertemu dengan dia
lagi!!”Jawabnya.
Kesunyian menyergap
kami bertiga sesaat. Aku bertahan agat tidak jatuh. Toni memandang Enjel, lalu
memandangku. Aku memandang Enjel dengan pandangan bingung.
Akhirnya setelah beberapa waktu,
Tono berkata lagi:
“Maaf Joni. Kau terlambat
mendapatkan hatinya. Aku dan Enjel telah memutuskan untuk melanjutkan kisah
cinta kami sampai maut memisahkan kami.”
Suara itu nyaris tak terdengar di
telingaku karena tidak percaya akan semuanya itu. Janji yang pernah kami buat
di bukit Sandar Matahari telah ditelan raja malam. Janji kami telah dibatasi
oleh kehadiran Toni.
“Sekali lagi, maaf Joni, dan kami
harus pergi dulu.” Suara Tono semakin samar.
Tono dan Enjel
kemudian berlalu, saling berdekapan. Aku menatapnya dalam pandangan yang kabur
karena air mata yang tumpah tak tertahankan sampai kemudian semuanya terasa
gelap dan kosong.


0 Comments