Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Antologi Puisi

Antologi Puisi
Foto dari Jen Ningsih



Di akhir musim
Pada lembaran terakhir
Kutemukan senyummu
Bukan tanpa alasan untuk meninggalkanmu
Mengingat kau pernah merapal doa untukku
Di bibirmu kau himpun kata jadi puisi
Keakrabanmu dengan Tuhan lewat dialog, bercakap
Dan  kau bertanya di mana alamat rindu
Di akhir musim ini
Aku bergegas untuk pergi
Pada kelabu bisu dan keheningan
Lupakan puisi indahmu yang telah tercipta itu
Biarkan baitnya lenyap diakhir musim ini
Maafkan aku dengan segala ego yang ada
Sehingga kini telah tercipta kisah yang sirna
Aku akan pergi bersama senja
Dalam bisu kerenungi arti perpisahan
Lalu hilang dan terlupakan.
    

Di Pinggir Pantai
Laut sepi tanpa ombak
Bunga layu tanpa air
Bak hati ini selalu sepi tanpamu
Meninggalkan engkau di pantai itu
Membuatku tak berdaya di kutup rindu
Merangkul dada hampa, terasa hambar
Andaiku dapat memutar waktu
Tak ingin aku meninggalkanmu lagi
Meski cinta tak menyatu dalam satu hati
Daku takkan mengahapusmu dari hidupku
Datanglah!
Aku menantimu kembali di ranjang itu.

Kau di Mata Hatiku
Malam ini, kau datang lagi..
Aku bahkan sudah lupa siapa namamu
Aku hanya ingat gaun merahmu yang kau pakai itu dulu
kala senja memberikan aromanya di bukit sandaran matahari.
Mereka bilang, kau sadis
Memamerkan gaun merahmu di altar Tuhan tempat perjumpaan aku dan Tuhanku
Aku katakan, kau jahat
Melepaskan aku pada malam yang pekat kala langit tak bercahaya di hatiku
Mereka bilang kau kanibal
Menyuruhku makan uang rakyat dan merampas suara hati mereka
Tapi, Tuhanku bilang, kau baik karena saban senja kau hadir dalam hatiku mengejukkan dan menghiasi taman hatiku.

Gravitasi Cinta
Bulan purnama menjadi saksi bisu pertemuan kami malam itu.
Di emperan gereja tua, tempat aku dulu sering bermain mengisi waktu sore bersama teman-teman sebaya.
Di situ, kami berdua berdiri sambil menatap langit terang malam itu. Tangan bertemu, saling menggenggam. Tanpa suara.
Hanya sesekali suara napas mendesah gemuruh seperti gemuruh bocah dekil bermain karet gelang.
Pada mulanya hening. Kemudian hening menjadi gemuruh desah rasa yang kian tak menentu.
Kami berpacu dengan perasaan masing-masing.
Aku sendiri, sulit sekali menyingkap rasa yang berkecambuk, bergelora dalam dada.
Topan kehidupan seperti menyatu dalam sedetik dan menumbangkan segenap jiwa ragaku.
Dia menoleh dan menatapku sambil tersenyum masam. Aku pun ikut tersenyum.
Di bawah sinar bulan purnama malam itu ia berbisik ke telingku dengan kata-kata indah
“Tegangan cintaku sebesar 100 ampere
Hambatan cinta kita sebesar 90 volt
Walau cinta kita banyak terdapat gaya gesek
Cintaku padamu memiliki arah bagaikan vektor
Cinta kita memiliki frekuensi yang sama.
Aku ingin cinta kita seperti arus listrik yang terus mengalir
Tanpa memandang masa lalu atau masa depan
Jangan melihat berat dan jarak.
Kita yakin gravitasi bumi akan membentuk cinta kita terus bersama.

Salib
Terima kasih ya Yesus
Untuk darah-Mu hanya demi aku.
Baca Juga Cerpen Riko Raden Takdir



Post a Comment

0 Comments