“Aku
tidak tahu ibu, mengapa takdir itu ada dalam keluarga kita. Mengapa keluarga
Tono jauh bahkan tidak ada namanya takdir dalam keluarganya. Dan takdir
itu apa ibu?”.“Begitulah
nak”,
jawab ibu.Tangan ibu sambil membelai rambut di kepalaku.“Kadang takdir itu datang tanpa sebab dan tujuannya pasti
ada. Kita tidak pernah menyangkal takdir yang kita alami. Kita harus tabah
seperti batu karang di tanah Timor yang selalu kuat di bawah terikan panas
matahari.”Begitulah jawaban ibuku dikala aku terus bertanya tentang takdir yang
dialami keluarga kami.
![]() |
| Foto dari Google |
Tetapi aku belum puas dengan jawabannya. Bagiku takdir membuat keluarga kami merana kelaparan dan tak pernah datang rejeki seperti keluarga Tono. Mungkin karena ibuku malu memberikan jawaban yang pasti kepadaku karena usiaku semakin bertambah dewas. Mungkin karena demikian sehingga ibuku enggan untuk memberitahukan kepadaku takdir yang terjadi dalam keluarga kami. Aku pun hanya berdiri menatap sebingkai foto yang terletak di dinding rumah kami.
Kala itu juga senja di bukit sandaran matahari pelan-pelan
meninggalkan bumi. Aku terus menatap foto sosok seorang ayah yang pernah
kusimpan di dalam kamar tidurku tetapi semejak ayah meninggal dunia, foto itu diletakkan di ruang tamu supaya orang bertamu dan mengetahui bahwa aku memiliki
seorang ayah.
***
Aku tidak tahu mengapa ayah
meninggal dunia. Aku belum pernah melihat dan merasakan sosok seorang ayah.
Maklum, pada saat ayah meninggal dunia, umurku belum sampai satu tahun sehingga
kasih sayang seorang ayah belum kurasakan sebagaimana yang dialami Tono
tetangga kami. Kepergiannya membuatku selalu punya waktu untuk berpikir tentang
dia. Aku tak tahu apakah waktu dia pergi dia masih mencintaiku atau tidak. Dia
pergi pada saat aku belum melihatnya, ketika aku terlelap dengan usiaku yang
masih mungil. Tapi aku yakin ayah sangat mencintaiku.
Aku
ada di dunia ini karena ayah. Ketika dia meninggal dunia, keluarga kami tidak bisa berbuat
apa-apa. Sehari-hari ibu hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Penghasilan ibu tidak mampu menghidupkan keluarga sebagaimana ayah masih hidup di
tengah kami. Ayah semasa hidupnya bekerja di perusahan yang sangat besar di
negeri kami. Mendengar cerita dari ibuku bahwa di tempat kerja semua orang sangat menghargai ayah karena
kepribadian sangat tenang dan suka menghargai orang lain. Sekali lagi ibu
melontarkan kata takdir pada saat ayah sudah
meninggal dunia. Setiap kali ibu melontarkan kata takdir, dalam hatiku
selalu bertanya, mengapa ibu selalu melontarkan kata itu. Tapi mungkin rahasia
seorang ibu sehingga pantaslah kata itu selalu diucapnya atau hanya mungkin
supaya takdir itu selalu dikenang dalam hidupnya. Tapi mengapa ibu tidak pernah
menceritakan takdir itu kepadaku.
Pekerjaan ibuku saban pagi hanya
menghasilkan kue donat dengan harga satu biji seribu rupiah. Biasanya ibu
membuat kue donat sampai seratus biji karena usianya tidak mudah lagi apalagi
suasana batinnya masih terkenang sosok seseorang yang telah meninggalkan dia
selama-lamanya. Pagi dan sore hari,
biasanya aku yang menjual karena aku tidak ingin ibuku memamerkan wajah
keriputnya di tengah kota ini. Pada saat menjual kue, mulutku tidak pernah diam
sebagaimana penjual ikan yang saban pagi melintasi rumah kami. Dengan bermaksud
supaya semua orang mendengarkan suaraku. Tetapi ada kalanya, suaraku banyak
yang kurang suka. Mungkin terlalu ribut sehingga suasana dalam kota ini menjadi
terganggu.
Suatu
kali seorang kakek menegur karena
suaraku terlalu keras, “manusia yang tidak tahu diri, jangan membuat keributan
di kota ini, pergilah dari sini dan bawalah jualanmu itu kepada babi yang masih
lapar.” Teguran seorang kakek ini membuatku tersinggung sehingga mulai saat itu
aku tidak pernah menjual di kota itu lagi. Aku pernah mendengar bahwa seorang kakek yang pernah menegurku
telah meninggal dunia karena teriakan para demonstran di kota tersebut. Ketika
para demostran berteriak supaya orang miskin diperhatikan, dia terjatuh dan
kepalanya terbentur di kursi yang empuk buatan uang rakyat.
Aku
bukanlah tipe pendendam, dalam hatiku berdoa semoga seorang kakek itu dapat
berubah ketika suatu saat nanti aku menjual kue di kota Bapaku di Surga. Pada
saat itu, suasana kurang mendukung untuk terus mengarahkan kakiku melangkah ke
kota sebelah karena senja telah datang menyelimuti duniaku. Aku bergegas dan
merapikan tempat jualan dan kembali ke rumah. Di tengah perjalanan, suasana
batiku tidak tenang karena jualanku tidak laku. Aku percuma datang pagi hingga
sore hari tetapi tak satupun orang membeli kue donatku. Apa yang hendak
kubawakan kepada ibu. Keluarga kami bisa hidup dari perjualan kue donat ini,
tetapi sekarang kue donat tidak laku. Bagaimana keluarga kami bisa hidup. Ibuku
saban pagi mata masih mengantuk terpaksa membuat kue donat demi menghidupkan
keluarga kami, tapi...!!
“ Ibu, maafkan aku. Bukan bermaksud
menghianati pekerjaan ibu. Tapi di kota ini ada banyak anak seusiaku yang
berjalan kemari menjual kue sehingga kadang kami bertengkar merebut uang seribu
rupiah dari tangan pembeli. Sekali lagi, maafkan aku ibu!”. Aku duduk di
samping kursi dekat ibu sambil melontarkan permohonaan maafku ini.
“Iya nak, tidak apa-apa”,suaranya pelan tapi pasti.
“Mungkin takdir telah merencanakannya. Masih ada hari
esok, muda-mudahan takdir tidakakan datang esok hari sehingga jualan besok
semuanya akan laku. Asalkan engkau tidak pernah putus asa pada takdir”,
sambungnya.
Hatiku
perih mendengar suara ibuku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Andai ayah
masih hidup pasti hidup kami tidak merana seperti ini. Tapi aku sadar umur
manusia batas 70 tahun dan 80 jika kuat. Dan ayahku kalau dia masih hidup
mungkin sekarang umur 81 karena umur ibu sekarang 80 tahun. Mereka beda satu tahun. Suasana dalam rumah
begitu sepi, aku dan ibu terus duduk di
atas kursi buatan dari bambu sambil menikmati udara malam. Dalam hati kecilku
ingin bertanya, mengapa mama sering melontarkan kata takdir dan itu terjadi
dalam keluarga kami. Setiap kali menimpa keluarga kami selalu menyebut kata
takdir. Emangnya takdir itu manusia atau bagaimana. Seandainya manusia mengapa
ibu tidak melawannya. Entahlah mungkin karena sifat ibu selalu lembut dan baik
hati sehingga takdir itu datang terus dalam keluarga kami.
***
Hari berganti hari, aku terus
merenung tentang takdir yang dilontarkan oleh ibuku. Aku berusaha untuk
merenung dan memahaminya tetapi sangat sulit bagiku. Hingga akhirnya aku putus
asa dan pergi tanpa meninggalkan pesan ataupun kesan kepada ibu. Aku pergi untuk
mencari sesuap nasi di tanah orang demi kebahagian seorang ibu dan keluarga
kami. Walaupun umurku belum layak untuk menjadi seorang pekerja keras tapi niat
batinku ingin supaya aku ingin kerja karena aku tidak ingin saban pagi ibu
bekerja keras apalagi usianya mendekati usia senja.
Di
tanah rantau aku tidak pernah membayang bagaimana ekspresi hati ibu ketika anak
semata wayangnya pergi tanpa meninggalkan pesan untuknya. Tapi aku yakin ibu
terus berada dalam naungan Tuhan, ibu selalu sehat dan pasti berdoa terus untuk
ayah dan anak semata wayangnya. Gemuruh
angin siang bolong menghantam
atap seng rumah perusahan kelapa sawit. Aku teringat, hari ini, tanggal 23
Juni, hari meninggal dunia ayahku. Tanpa berpikir panjang aku bergegas dan
beranjak pergi untuk meninggalkan tempat kerja dan kembali ke rumah tinggal
bersama ibu untuk membantunya mempersiapkan segala sesuatu sebagaimana ritus
dalam budaya Manggarai.
Aku membeli sebuah rosario sebagai kenangan untuk ibu
supaya saban malam dia berdoa untuk keluarga kami. Aku melihat dari kejauhan.
Rumah kami sudah tua. Rumah itu dibangun ketika aku masih dalam kandungan dan
selesainya saat aku sudah lahir. Yang memulai adalah ayah dan yang
menyelesaikannya adalah ibu karena ayah meninggal waktu aku masih kecil. Untuk
ukuran kampung kami, rumah itu termasuk paling sederhana. Beratap alang-alang
dan beralas tanah telanjang. Aku melihat
dari kejauhan rumah itu sangat ramai. Suasana hatiku sangat senang karena persiapan peringatan
meninggal ayah bukan hanya ibu sendiri tetapi semua warga kampung kami. Ketika
aku mendekati pintu, aku mulai mendengar ada suara tangisan dari dalam kamar
tapi bukan suara ibuku. Aku cepat-cepat melarikan diri ke dalam kamar ibu,
kulihat ibu terbaring sakit di tempat tidur dan mungkin sesaat lagi dia akan
meninggalkan aku selama-lamanya. Aku memeluk ibu dan air mataku pelan-pelan
mulai membasahi pipiku. Pada saat aku memeluknya, ibu berbisik kepada telingaku
dengan suaranya tersendak-sendak,
“Nak,
inilah takdir yang dialami keluarga kita. Jangan pernah putus asa pada takdir.”
“Ibu,
tolong ceritakan kepadaku, mengapa takdir ada hanya dalam keluarga kita,
mengapa keluarga yang lain tidak ada.”
Pelan-pelan
nafasnya sudah mulai hilang. Dia
pun pergi untuk selamanya.


0 Comments