Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Takdir


“Aku tidak tahu ibu, mengapa takdir itu ada dalam keluarga kita. Mengapa keluarga Tono jauh bahkan tidak ada namanya takdir dalam keluarganya. Dan takdir itu  apa ibu?”.“Begitulah nak”, jawab ibu.Tangan ibu sambil membelai rambut di kepalaku.“Kadang takdir itu datang tanpa sebab dan tujuannya pasti ada. Kita tidak pernah menyangkal takdir yang kita alami. Kita harus tabah seperti batu karang di tanah Timor yang selalu kuat di bawah terikan panas matahari.”Begitulah jawaban ibuku dikala aku terus bertanya tentang takdir yang dialami keluarga kami. 
Takdir
Foto dari Google

Tetapi aku belum puas dengan jawabannya. Bagiku takdir membuat keluarga kami merana kelaparan dan tak pernah datang rejeki seperti keluarga Tono. Mungkin karena ibuku malu memberikan jawaban yang pasti kepadaku karena usiaku semakin bertambah dewas. Mungkin karena demikian sehingga ibuku enggan untuk memberitahukan kepadaku takdir yang terjadi dalam keluarga kami. Aku pun hanya berdiri menatap sebingkai foto yang terletak di dinding rumah kami.
Kala itu juga senja di bukit sandaran matahari pelan-pelan meninggalkan bumi. Aku terus menatap foto sosok seorang ayah yang pernah kusimpan di dalam kamar tidurku tetapi semejak ayah meninggal dunia, foto itu diletakkan di ruang tamu supaya orang  bertamu dan mengetahui bahwa aku memiliki seorang ayah.
                                                            ***
            Aku tidak tahu mengapa ayah meninggal dunia. Aku belum pernah melihat dan merasakan sosok seorang ayah. Maklum, pada saat ayah meninggal dunia, umurku belum sampai satu tahun sehingga kasih sayang seorang ayah belum kurasakan sebagaimana yang dialami Tono tetangga kami. Kepergiannya membuatku selalu punya waktu untuk berpikir tentang dia. Aku tak tahu apakah waktu dia pergi dia masih mencintaiku atau tidak. Dia pergi pada saat aku belum melihatnya, ketika aku terlelap dengan usiaku yang masih mungil. Tapi aku yakin ayah sangat mencintaiku.
Aku ada di dunia ini karena ayah. Ketika dia meninggal dunia, keluarga kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sehari-hari ibu hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan ibu tidak mampu menghidupkan keluarga sebagaimana ayah masih hidup di tengah kami. Ayah semasa hidupnya bekerja di perusahan yang sangat besar di negeri kami. Mendengar cerita dari ibuku bahwa di tempat kerja semua  orang sangat menghargai ayah karena kepribadian sangat tenang dan suka menghargai orang lain. Sekali lagi ibu melontarkan kata takdir  pada saat  ayah sudah  meninggal dunia. Setiap kali ibu melontarkan kata takdir, dalam hatiku selalu bertanya, mengapa ibu selalu melontarkan kata itu. Tapi mungkin rahasia seorang ibu sehingga pantaslah kata itu selalu diucapnya atau hanya mungkin supaya takdir itu selalu dikenang dalam hidupnya. Tapi mengapa ibu tidak pernah menceritakan takdir itu kepadaku.
            Pekerjaan ibuku saban pagi hanya menghasilkan kue donat dengan harga satu biji seribu rupiah. Biasanya ibu membuat kue donat sampai seratus biji karena usianya tidak mudah lagi apalagi suasana batinnya masih terkenang sosok seseorang yang telah meninggalkan dia selama-lamanya. Pagi dan sore hari,  biasanya aku yang menjual karena aku tidak ingin ibuku memamerkan wajah keriputnya di tengah kota ini. Pada saat menjual kue, mulutku tidak pernah diam sebagaimana penjual ikan yang saban pagi melintasi rumah kami. Dengan bermaksud supaya semua orang mendengarkan suaraku. Tetapi ada kalanya, suaraku banyak yang kurang suka. Mungkin terlalu ribut sehingga suasana dalam kota ini menjadi terganggu.
Suatu kali seorang kakek menegur karena suaraku terlalu keras, “manusia yang tidak tahu diri, jangan membuat keributan di kota ini, pergilah dari sini dan bawalah jualanmu itu kepada babi yang masih lapar.” Teguran seorang kakek ini membuatku tersinggung sehingga mulai saat itu aku tidak pernah menjual di kota itu lagi. Aku pernah mendengar  bahwa seorang kakek yang pernah menegurku telah meninggal dunia karena teriakan para demonstran di kota tersebut. Ketika para demostran berteriak supaya orang miskin diperhatikan, dia terjatuh dan kepalanya terbentur di kursi yang empuk buatan uang rakyat.  
Aku bukanlah tipe pendendam, dalam hatiku berdoa semoga seorang kakek itu dapat berubah ketika suatu saat nanti aku menjual kue di kota Bapaku di Surga. Pada saat itu, suasana kurang mendukung untuk terus mengarahkan kakiku melangkah ke kota sebelah karena senja telah datang menyelimuti duniaku. Aku bergegas dan merapikan tempat jualan dan kembali ke rumah. Di tengah perjalanan, suasana batiku tidak tenang karena jualanku tidak laku. Aku percuma datang pagi hingga sore hari tetapi tak satupun orang membeli kue donatku. Apa yang hendak kubawakan kepada ibu. Keluarga kami bisa hidup dari perjualan kue donat ini, tetapi sekarang kue donat tidak laku. Bagaimana keluarga kami bisa hidup. Ibuku saban pagi mata masih mengantuk terpaksa membuat kue donat demi menghidupkan keluarga kami, tapi...!!
            “ Ibu, maafkan aku. Bukan bermaksud menghianati pekerjaan ibu. Tapi di kota ini ada banyak anak seusiaku yang berjalan kemari menjual kue sehingga kadang kami bertengkar merebut uang seribu rupiah dari tangan pembeli. Sekali lagi, maafkan aku ibu!”. Aku duduk di samping kursi dekat ibu sambil melontarkan permohonaan maafku ini.
            “Iya nak, tidak apa-apa”,suaranya pelan tapi pasti.
Mungkin takdir telah merencanakannya. Masih ada hari esok, muda-mudahan takdir tidakakan datang esok hari sehingga jualan besok semuanya akan laku. Asalkan engkau tidak pernah putus asa pada takdir”, sambungnya.
Hatiku perih mendengar suara ibuku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Andai ayah masih hidup pasti hidup kami tidak merana seperti ini. Tapi aku sadar umur manusia batas 70 tahun dan 80 jika kuat. Dan ayahku kalau dia masih hidup mungkin sekarang umur 81 karena umur ibu sekarang 80 tahun.  Mereka beda satu tahun. Suasana dalam rumah begitu sepi, aku dan ibu terus  duduk di atas kursi buatan dari bambu sambil menikmati udara malam. Dalam hati kecilku ingin bertanya, mengapa mama sering melontarkan kata takdir dan itu terjadi dalam keluarga kami. Setiap kali menimpa keluarga kami selalu menyebut kata takdir. Emangnya takdir itu manusia atau bagaimana. Seandainya manusia mengapa ibu tidak melawannya. Entahlah mungkin karena sifat ibu selalu lembut dan baik hati sehingga takdir itu datang terus dalam keluarga kami.
***
            Hari berganti hari, aku terus merenung tentang takdir yang dilontarkan oleh ibuku. Aku berusaha untuk merenung dan memahaminya tetapi sangat sulit bagiku. Hingga akhirnya aku putus asa dan pergi tanpa meninggalkan pesan ataupun kesan kepada ibu. Aku pergi untuk mencari sesuap nasi di tanah orang demi kebahagian seorang ibu dan keluarga kami. Walaupun umurku belum layak untuk menjadi seorang pekerja keras tapi niat batinku ingin supaya aku ingin kerja karena aku tidak ingin saban pagi ibu bekerja keras apalagi usianya mendekati usia senja.
Di tanah rantau aku tidak pernah membayang bagaimana ekspresi hati ibu ketika anak semata wayangnya pergi tanpa meninggalkan pesan untuknya. Tapi aku yakin ibu terus berada dalam naungan Tuhan, ibu selalu sehat dan pasti berdoa terus untuk ayah dan anak semata wayangnya. Gemuruh  angin siang  bolong menghantam atap seng rumah perusahan kelapa sawit. Aku teringat, hari ini, tanggal 23 Juni, hari meninggal dunia ayahku. Tanpa berpikir panjang aku bergegas dan beranjak pergi untuk meninggalkan tempat kerja dan kembali ke rumah tinggal bersama ibu untuk membantunya mempersiapkan segala sesuatu sebagaimana ritus dalam budaya Manggarai.
            Aku membeli sebuah rosario sebagai kenangan untuk ibu supaya saban malam dia berdoa untuk keluarga kami. Aku melihat dari kejauhan. Rumah kami sudah tua. Rumah itu dibangun ketika aku masih dalam kandungan dan selesainya saat aku sudah lahir. Yang memulai adalah ayah dan yang menyelesaikannya adalah ibu karena ayah meninggal waktu aku masih kecil. Untuk ukuran kampung kami, rumah itu termasuk paling sederhana. Beratap alang-alang dan beralas tanah telanjang.  Aku melihat dari kejauhan rumah itu sangat ramai. Suasana hatiku  sangat senang karena persiapan peringatan meninggal ayah bukan hanya ibu sendiri tetapi semua warga kampung kami. Ketika aku mendekati pintu, aku mulai mendengar ada suara tangisan dari dalam kamar tapi bukan suara ibuku. Aku cepat-cepat melarikan diri ke dalam kamar ibu, kulihat ibu terbaring sakit di tempat tidur dan mungkin sesaat lagi dia akan meninggalkan aku selama-lamanya. Aku memeluk ibu dan air mataku pelan-pelan mulai membasahi pipiku. Pada saat aku memeluknya, ibu berbisik kepada telingaku dengan suaranya tersendak-sendak,
“Nak, inilah takdir yang dialami keluarga kita. Jangan pernah putus asa pada takdir.”
“Ibu, tolong ceritakan kepadaku, mengapa takdir ada hanya dalam keluarga kita, mengapa keluarga yang lain tidak ada.”
Pelan-pelan nafasnya sudah mulai hilang.  Dia pun  pergi untuk selamanya.
           

Post a Comment

0 Comments