![]() | ||
| Keterangan Gambar: Foto dari Facebook |
Masih teringat saat pertama kali aku mendekatimu di lorong tua ini. Engkau begitu cantik, indah untuk dipandang. Suaramu begitu lembut, jelas dan sedikit nuansa romantis. Aku pun sangat segan pun malu untuk mendekatimu. Aku berpikir engkau cocok untuk menjadi kekasih para artis Indonesia. Iya, sangat cocok. Lihat saja kulitmu seperti para selebriti tanah air ini. Mulus, putih dan bersih. Aku segan untuk mendekatimu. Di lorong tua ini, engkau pun diam seribu bahasa. Entah apa yang kau pikirkan. Aku juga tak tahu. Sesekali engkau memandang ke arahku, tapi aku malu membalas tatapanmu. Sungguh aku malu melihat embun pada bola matamu. Engkau pun tersenyum mungkin melihat aku yang sedang malu tersipu-sipu. Atau mungkin engkau tahu bahwa aku malu karena aku jatuh cinta padamu. Ahh,,sungguh aku malu berhadapan dengan wanita secantik dirimu.
Baca Juga Konsep Gotong Royong Ala Bung Karno
Tak lama kemudian, engkau mendekatiku. Sungguh aku mulai malu dan sedikit keringat. Hatiku terus merontak agar secepatnya meninggalkamu. Tapi kakiku enggan untuk berjalan seolah-olah ada benda yang menempel di ujung kakiku. “Ahhh,, biarkan dia mendaktiku.”Kataku dalam hati. Engkau pun sudah mendekatiku. Tak ada cerita pun sapaan yang dilontarkan. Aku dan engkau diam tanpa kata. Cukup lama kami diam seperti seorang sedang berdoa.
“ Engkau tahu, aku ke sini ingin mengenalmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Ahh, tidak mungkin wanita secantik dia ingin mengenal diriku yang tidak ada potongan sama sekali ini. Rambut keriting dan pakian compang-camping.” Kataku dalam hati dan pura-pura tak mendengar ucapannya.
“Hei bung, engkau dengar tidak ucapanku tadi.” Katanya lagi.
Dia semakin merapat. Tas yang sengaja kuletakan di samping untuk menjaga jarak, kini ia lemparkan ke bawah lantai. Aku melihat saja tanpa keluar sekata pun. Aku melihat jatuhnya tas itu seperti para pengemis di kota tua ini, lugu tak berdaya.
“Iya, aku juga senang ingin mengenal dirimu.” Kataku dengan nada pelan.
“Aku tahu, engkau seorang penulis. Aku ingin belajar menulis bersamamu. Apakah engkau bersedia.”
“ Aku bukan seorang penulis yang hebat seperti Joko Pinurbo Atau Goenawan Mohamad. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak ada bakat untuk tulis-menulis.”
“Ahh.. Engkau bohong. Selama ini aku sering membaca tulisanmu di media. Jujur saja kalau engkau seorang penulis.”
“Memang aku sering menulis di media, tapi aku bukan seorang penulis seperti yang engkau pikirkan.”
“Intinya, aku ingin belajar menulis bersamamu. Bisa kan?”
“Baiklah, aku bersedia belajar menulis bersamamu. Tapi ingat engkau tidak boleh mengatakan kepada orang lain bahwa kita sedang belajar tulis-menulis.”
“Kenapa begitu?”
“Nanti saja aku memberikan jawabannya. Itu saja pesanku.”
Tak lama kemudian, kami kembali diam seribu bahasa. Sesekali aku mengambil buku dalam tas dan membacanya. Pada cela buku ini, aku sebenarnya ingin melihat ekspresi wajah cantiknya. Ia sungguh cantik dan suaranya lembut. Sungguh aku jatuh cinta dengannya. Aku pun kembali membaca buku. Sedangkan ia tersenyum dengan handphonenya. Agak sedikit cemburu dalam hatiku karena mungkin ia sedang jatuh cinta atau bertukar hati dengan sang kekasihnya. Entahlah, dia juga wanita punya rasa cinta dan berhak untuk jatuh cinta dengan siapapun.
Baca Juga Cerpen Kisah Pilu Seorang Janda
Aku melihatnya pergi tanpa berkata apa pun kepadaku. Ia pergi seperti seorang bertapa di sebuah gunung. Pergi tanpa pamit pun mengucapakan kata terima kasih karena kami telah mengenal satu sama lain. Atau meninggalkan nomor handphone agar besok kami berjumpa di lorong ini lagi. Ahh, aku salah mengenal wanita sepertimu. Kelakuanmu tidak sejalan dengan kecantikanmu. Ternyata engkau cantik pada bagian wajah saja, hatimu licik seperti ular. Pada lorong tua ini, mengingatkan kata-katamu tadi membuat bibirku enggan untuk tersenyum kembali. Semuanya jelas, engkau datang seperti angin berlalu.


0 Comments